Menjaga gairah investasi di sektor IET

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) baru saja menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 6 tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Produk Elektronik..

Kemenperin menyatakan keluarnya regulasi ini sebagai upaya menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi para pelaku Industri Elektronika dan Telematika (IET) yang telah berinvestasi di Indonesia.

Pengaturan arus impor ini sebagai tindak lanjut dari arahan Presiden atas kondisi neraca perdagangan produk elektronik pada tahun 2023 yang masih menunjukkan defisit.

Maka itu, berdasarkan pertimbangan usulan dan kemampuan industri dalam negeri, ditetapkan terdapat 139 pos tarif elektronik yang diatur dalam Permenperin 6/2024, dengan rincian 78 pos tarif diterapkan Persetujuan Impor (PI) dan Laporan Surveyor (LS) serta 61 pos tarif lainnya diterapkan hanya dengan LS.

Beberapa produk yang termasuk ke dalam 78 pos tarif tersebut di antaranya adalah AC, televisi, mesin cuci, kulkas, kabel fiber optik, kulkas, laptop dan beberapa produk elektronik lainnya.

Kemenperin mengakui tata niaga impor untuk produk elektronika merupakan hal yang baru dan belum pernah diberlakukan.

Merujuk Permenperin 6/2024, dari pemberlakuan tata niaga impor ini, diharapkan bagi produsen dalam negeri dapat menangkap peluang demand produk elektronika sehingga semakin meningkatkan kapasitas dan mendiversifikasi jenis produknya.

Sedangkan, bagi Electronic Manufacturing Service (EMS) atau Original Equipment Manufacturer (OEM), menjadikan peluang kerja sama dengan pemegang merek internasional yang belum memiliki lini produksi di dalam negeri.

Sementara itu, bagi importir, adanya kepastian pendistribusian dan atau penjualan barang impor di dalam negeri.

Dicontohkan, berdasarkan data SIINas pada tahun 2023, kapasitas produksi untuk produk AC sebesar 2,7 juta unit dan realisasi produksi sekitar 1,2 juta unit.

Artinya utilisasi produksinya hanya 43%. Sementara sangat disayangkan, berdasarkan data Laporan Surveyor bahwa impor produk AC pada tahun 2023 menembus angka 3,8 juta unit.

Karena itu, diharapkan pengaturan impor ini dapat meningkatkan utilisasi produksi AC di dalam negeri.

Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) melihat terbitnya Permenperin 6/2024 harus dilihat dari sisi kepentingan nasional, sehingga Gabel sebagai asosiasi produsen elektronik menyambut baik dan memiliki harapan besar agar regulasi tersebut bisa diberlakukan secara konsisten.

Gabel berharap industri hulu akan tumbuh pesat sehingga akan memicu hilirisasi yang terintegrasi.

Asosiasi Pabrik Kabel Indonesia (APKABEL) menyatakan, pemberlakuan Permenperin 6/2024 merupakan solusi terbaik sebagai wujud dukungan terhadap industri kabel dalam negeri, khususnya produsen kabel serat optik.

Apalagi, saat ini kemampuan dan kapasitas industri kabel serat optik di Indonesia sudah mumpuni serta telah bisa membuat semua jenis kabel serat optik dari ukuran kecil maupun besar.

Baik itu untuk keperluan di dalam gedung, di udara dan dalam tanah, maupun duct serta kabel dalam laut (sub marine cable). "Total kapasitas mencapai 15 juta ScKm (Kmfiber).

Kemampuan dan kapasitas yang besar tersebut seiring adanya sejumlah investor global dari Tiongkok, Korea, dan Jepang yang membangun beberapa fasilitas pabrik kabel serat optik di Indonesia dalam kurun delapan tahun terakhir ini.

Namun kapasitas tersebut hanya terutilisasi dengan okupansi produksi di bawah 50% dari kapasitas terpasang.

Padahal, semua proses kabel serat optik yang meliputi colouring, tubing, stranding, armoring, sheating atau jacketing sudah 100% dilakukan di dalam negeri.

Kontroversi
Bagi sebagian kalangan keluarnya regulasi ini boleh saja dianggap hal positif walau ada tantangan nantinya yakni menjelaskan ke pasar global tentang tujuan dari beleid ini.

Hal ini mengingat Indonesia adalah anggota World Trade Organization (WTO) dimana organisasi ini menganut perdagangan bebas.

Selain itu, ada juga yang berpandangan pemerintah mengambil "jalan pintas" untuk menggenjot industri elektronik domestik sehingga bisa membuat konsumen menjadi korban, karena produk yang beredar di pasaran dikhawatirkan akan berkualitas rendah atau berharga selangit sebagai dampak tidak adanya kompetisi.

Terlepas dari kontroversi, keberpihakan yang ditunjukkan pemerintah terhadap industri lokal harus diapresiasi, tinggal pekerjaan rumah bersama harus diselesaikan yakni mendukung keluarnya produk yang berkualitas agar fasilitas yang diberikan menjadi maksimal manfaatnya.

@IndoTelko