JAKARTA (IndoTelko) DoubleVerify (DV), platform perangkat lunak untuk pengukuran, data, dan analitik media digital, membagikan sejumlah wawasan dan informasi penting seputar industri periklanan dan lanskap kualitas media di Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
"Kawasan Asia Tenggara siap menjadi wilayah dengan kekuatan ekonomi terbesar keempat di dunia, didukung oleh digitalisasi oleh negara seperti Filipina, yang berada pada posisi teratas dalam pertumbuhan industri ritel e-commerce. Meskipun potensi pertumbuhan belanja iklan digital di kawasan Asia Pasifik sangat besar, pengiklan harus tetap melindungi investasi mereka dengan melakukan verifikasi berkala terhadap semua saluran digital, agar tidak berisiko membuang-buang investasi mereka. Kualitas media harus menjadi dasar dari setiap kampanye periklanan, dan pemasar membutuhkan edukasi lebih tentang verifikasi,” kata Managing Director, APAC, DoubleVerify Conrad Tallariti.
Di dalam laporan tersebut, DV mengungkapkan sejumlah temuan menarik yang relevan dan bermanfaat bagi pelaku industri periklanan di Asia Pasifik, termasuk Indonesia di dalamnya, guna meningkatkan performa periklanannya. Sejumlah temuan tersebut antara lain adalah:
Ada minat yang besar terhadap media sosial di seluruh wilayah Asia Pasifik. 60% pengguna media sosial dunia ada di sini, dan kita akan segera melihat bagaimana media sosial berkembang dari koneksi ke perdagangan. Faktanya, DoubleVerify menemukan bahwa 35% pemasar menyebut fragmentasi audiens sebagai kekhawatiran utama, dan hal ini memiliki alasan yang bagus
Pemasar di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, memiliki sentimen positif terhadap pengukuran kualitas media, dengan 91% setuju bahwa hal tersebut penting untuk dilakukan untuk mendorong pemanfaatan saluran media yang sukses
Di lain pihak, survei yang sama menunjukkan bahwa verifikasi iklan tidak dilakukan secara always-on oleh pemasar di Asia Pasifik. Hanya 1 di antara 3 pemasar yang menggunakan alat verifikasi secara ad-hoc
Survei juga menunjukkan bahwa sebagian besar pemasar gagal mengevaluasi keputusan pembelian media digital, dengan hanya 17% di antara mereka yang mengevaluasi efektivitas berdasarkan indikator penting seperti brand suitability, viewability, fraud, serta intended geography.
Business Director, Indonesia, DoubleVerify Muhammad Arif Bijaksana menjelaskan Indonesia adalah pasar yang besar dengan segala bentuk potensi dan peluang bisnis digital yang besar.
Di tengah kondisi lanskap periklanan dan digital yang terus berkembang, pengeluaran nilai belanja iklan di Indonesia tercatat hingga mencapai nilai sekitar US$ 2,565 juta (setara sekitar lebih dari Rp 40 triliun) dan di tahun ini, nilai belanja iklan digital di Indonesia diproyeksikan akan mencapai lebih dari US$3,051 juta (atau sekitar lebih dari Rp 48 triliun). Kondisi ini menjadi peluang besar bagi pemasar dan brand untuk dapat memaksimalkan performa kampanye periklanan mereka, demi menjangkau target yang lebih luas secara lebih efektif.
Dari sisi lain, pertumbuhan media ritel juga menjadi hal unik yang disorot oleh DoubleVerify, antara lain:
Dari tahap penelusuran hingga pembelian, konsumen di Asia Pasifik menggunakan media sosial di berbagai tahap dalam melakukan pembelian. Konsumen di Indonesia (sebanyak 63%) secara signifikan memanfaatkan media sosial untuk melakukan riset produk yang mereka butuhkan.
Super-app juga menjadi fenomena besar saat ini, di mana local commerce market seperti Grab, Lazada dan Tokopedia tumbuh populer sebagai channel pencarian, mengalahkan media sosial dan Google Search.
Peningkatan penggunaan e-commerce memberikan peluang tambahan bagi pengiklan untuk menjangkau konsumen yang berniat menghabiskan lebih banyak waktu online, terutama di e-commerce, seperti di kala Ramadan (berdasarkan survei Maret 2023), yang berniat melakukan pembelian sejumlah produk seperti; busana dan aksesoris (76%).
Perhatian (attention) pengguna juga menjadi hal menarik yang diulas, yakni:
Pada 2023 lalu, kini sebanyak 70% konsumen di Asia Tenggara (66% di Indonesia) menghabiskan lebih banyak waktu untuk online di jika dibandingkan dengan era sebelum pandemi.
Sebanyak 98% pemasar yang disurvei mengatakan mereka menggunakan alat pengukuran metrik attention untuk mengevaluasi pembelian media digital. Namun, pengukuran metrik tradisional saja tidaklah cukup.
Terakhir, namun tidak kalah penting adalah terjadinya transformasi periklanan dengan AI.
Teknologi di dunia ini terus menerus berevolusi, begitu pula dengan industri periklanan, ditandai dengan hadirnya periklanan digital (tahun 2010an), programatik (tahun 2010an) dan kecerdasan buatan (di tahun 2020an).
Pada saat yang sama, perkembangan AI akan berdampak luas pada industri periklanan. Khususnya, kemampuan prediktif pembelajaran mesin untuk mengoptimalkan kinerja iklan di berbagai bidang.(ak)