Panasnya medsos jelang pencoblosan

Menjelang pesta demokrasi Pemilihan Umum Serentak 2024, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terus memantau perkembangan sebaran konten hoaks dan melawan isu hoaks yang beredar.

Kominfo menyatakan konten hoaks yang beredar selama masa kampanye Pemilihan Umum 2024 tidak sebanyak Pemilu 2019.

Selama masa kampanye Pemilu 2024 sejak 28 November 2023 hingga 11 Januari 2024, Kominfo telah melakukan take down terhadap 51 konten terkait Pemilu serta menerbitkan sekitar 175 klarifikasi atas hoaks mengenai Pemilu.

Kominfo telah menandatangani sejumlah nota kesepahaman terkait pemanfaatan layanan informasi dalam pelaksanaan dan pengawasan penyelenggaraan pemilu melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.

"Selain itu, perjanjian kerjasama dilaksanakan antara Direktorat Jenderal Aptika Kominfo dengan Bawaslu dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) terkait pengawasan penyelenggaraan Pemilu. Karena itu, melalui pemanfaatan teknologi informasi dan pemeliharaan serta pemanfaatan sistem elektronik dengan memberikan panduan serta kode etik," jelasnya.

Mengutip hasil penelitian The Safer Internet Lab (SAIL) Tahun 2023, sebanyak 42% masyarakat Indonesia masih percaya disinformasi seputar Pemilu.

Fenomena kekacauan informasi di ruang digital berupa misinformasi, disinformasi maupun malinformasi dan hoaks didorong oleh tiga elemen utama, yaitu aktor yang secara aktif terlibat dalam tiga fase kekacauan informasi, pesan yang dapat dikomunikasikan secara langsung melalui teks maupun dalam format audio visual, dan penerjemah atau khlayak yang menginterpretasi informasi berdasarkan latar belakang sosio politik dan kultural masing-masing.

Ketiganya disebar dengan tiga tahapan dalam proses produksi hingga penyebaran yakni penciptaan narasi pembuatan produk media dan distribusi informasi.

Merespons situasi tersebut, Kominfo menggencarkan tiga inisiatif program untuk mencegah penyebaran hoaks dan disinformasi berkaitan dengan Pemilu 2024.

Pertama dari tingkat hulu melalui Program Gerakan Nasional Literasi Digital. Pada tingkat menengah melakukan Patroli Siber selama 1x24 jam secara masif. Ketiga, mmelakukan penerbitan klarifikasi terhadap hoaks secara berkala.

Pendekatan Hukum
Sayangnya, dalam kekisruhan di dunia maya, pendekatan hukum masih digunakan.

Terbaru, pegiat media sosial yang juga pendukung salah satu calon presiden (Capres), Palti Hutabarat belum lama ini diamankan di kediamannya di kawasan Kecamatan Namo Rambe, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara.

Palti ditangkap terkait postingan diduga hoaks rekaman pembicaraan yang mencatut nama Forkopimda di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara untuk memenangkan paslon 02 di Pilpres 2024.

Palti Hutabarat seperti dikutip dari akun instagramnya merupakan Eks Sekretaris Republik Cyber Projo 2019-2023. Ia juga Freelance, SocMed Activist, Bicara Olahraga, Media, Sosial dan Politik. Sekarang sosok ini merupakan relawan Ganjar-Mahfud yang tengah bersaing di Pemilihan Presiden (Pilpres).

Palti dijerat dengan pasal berlapis yakni Pasal 48 ayat 1 jo pasal 32 ayat 1 dan atau pasal 48 ayat 2 jo pasal 32 ayat 2 dan atau pasal 51 ayat 1 KUHP.

Selain itu, Palti juga diduga melanggar Pasal 35 dan atau Pasal 45 ayat 4 jo Pasal 27 A UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan juga pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946.

Bisa dikatakan, Palti menjadi korban pertama setelah revisi UU ITE kedua disahkan belum lama ini.

Terlepas dari kontroversi pengenaan pasal terhadap penahanannya, ini membuktikan wajah UU ITE belum berubah dalam mengawasi demokrasi di ruang digital.

Tentunya ini jauh sekali dari semangat menjadikan pemilu sebagai riang gembira dan berlawanan dengan gembar-gembor literasi menjadi alat utama menekan hoaks.

@IndoTelko