JAKARTA (IndoTelko) - Indonesia ICT Institute mengusulkan ada terobosan dalam mengelola layanan Over The Top (OTT) global di Indonesia agar ada kesetaraan di industri Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) nasional.
"Saya baca para calon presiden (Capres) punya inovasi masing-masing dalam urusan pajak, tetapi tidak ada yang menyentuh sektor digital. Padahal di sektor ini ada ketimpangan antara pelaku usaha untuk urusan pajak. Operator telekomunikasi dibebani banyak pajak dan Pendapatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), OTT global tidak. Karena itu mumpung lagi suasana politik, saya usul ada pajak digital OTT asing sebagai sumber pemasukan negara," kata Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, kemarin.
Menurutnya, Indonesia bisa belajar dari negara lain yang telah menerapkan digital services tax. "Indonesia bisa belajar dengan sejumlah negara yang telah menerapkan digital services tax (DTS) seperti Austria, Prancis, Hungaria, Italia, Polandia, Portugal, Spanyol, Turki dan Inggris, meskipun strukturalnya berbeda-beda," jelas Heru.
Diungkapkannya, saat ini perkembangan bisnis telekomunikasi terdestrupsi oleh perusahaan OTT yang membuat trafik voice dan SMS menurun.
"Perusahaan telekomunikasi hanya seperti penyedia pipa (dumb pipe) dengan capex dan opex yang besar. Sementara OTT berselancar di atas jaringan yang dibangun perusahaan telekomunikasi," kata Heru Sutadi.
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel, Sigit Puspito Wigati Jarot mengakui, untuk menyehatkan industry seluler memang perlu ada regulasi untuk mengatur OTT.
"Dari data SNS Insider, OTT secara global mampu meraup US$295,24 miliar pada tahun 2021 dan kemungkinan akan tumbuh hingga US$1,951 triliun pada tahun 2030," ujar Sigit.
Sigit mengungkapkan perbandingan pendapatan telekomunikasi dengan OTT.
"Pendapatan operator telekomunikasi pada tahun 2010 memang bisa mencapai US$458 miliar dari SMS dan voice, sedangkan OTT dulu hanya US$41 miliar. Tetapi, kini pada tahun 2021 terbalik, perusahaan telekomunikasi hanya mendapat US$702 miliar sedangkan OTT US$753 miliar," ujarnya. "Prediksinya, pendapatan OTT akan terus naik ke depannya," sambung Sigit.
Dikatakannya, OTT terutama dari luar negeri saat ini sangat menikmati keuntungan dari penggunanya di Indonesia, justru perusahaan operator telekomunikasi negeri ini menderita. Hal ini lantaran mereka dipaksa untuk membangun infrastruktur digital yang cepat dan andal. Padahal untuk membangun infrastruktur digital yang mumpuni jelas tidaklah mudah serta tidak murah.
Belum lagi beban operator telekomunikasi yang saat ini sangat berat dengan regulatory charge yang besar yang diminta oleh negara. Mereka harus menanggung beban besar tetapi juga dituntut pemerintah untuk menyediakan infrastruktur terkini seperti 5G.
Ketua Umum Perkumpulan Advokat Teknologi Informasi Indonesia (PERATIN) Kamilov Sagala melihat OTT global terlalu dimanja sehingga terkesan bisa mengabaikan kedaulatan negara.
"Bahkan Presiden keluar negari untuk bertemu bos OTT, kalau di operator telekomunikasi cuma sekelas Menteri yang datang," kata Kamilov.
Disarankannya, pemerintah harus segera membuat regulasi terkait OTT karena penting supaya OTT bisa turut mengambil beban universal service obligation (USO), lalu turut membayar biaya yang setara dengan biaya hak penyelenggara (BHP), turut membantu masyarakat yang dimarginalkan melalui CSR, hingga memperkuat kerjasama dengan operator.
"Bayangkan saja jika OTT mampu membantu membuat infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) maka masyarakat di sana juga bisa mengakses OTT dan pendapatannya juga semakin meningkat. Kewajiban Universal Service Obligation (USO) juga harus menjadi beban perusahaan OTT. Kenapa? Karena keuntungan yang didapatkan mereka sudah berlipat-lipat dengan menghadirkan layanan di atas jaringan yang disediakan operator," tandasnya.(ak)