Memburu makelar kasus korupsi BAKTI

Kejaksaan Agung (Kejagung) mulai menunjukkan keseriusannya untuk memburu para makelar kasus yang terlibat dalam pengamanan kasus dugaan korupsi penyediaan menara BTS 4G dan infrastruktur pendukung 1, 2, 3, 4 dan 5 Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).

Total kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp 8,03 triliun menjadikan Kejagung serius memburu para penikmat uang haram tersebut.

Banyak kalangan membagi ada tiga klaster yang menikmati mega korupsi ini yaitu pemborong, pengawas, dan pengamanan perkara.

Pada Jumat, (13/10), Kejagung resmi menetapkan pengacara berinisial NPWH alias EH sebagai tersangka ke-13 dalam kasus tersebut.

Tersangka NPWH alias EH adalah Naek Parulian Washington Huatahaean alias Edward Hutahaean diduga masuk dalam klaster pengamanan perkara.

NPWH alias EH ditetapkan sebagai tersangka atas perannya selaku pihak yang melakukan permufakatan dan persekongkolan jahat untuk menutup kasus pengungkapan korupsi BTS 4G Bakti Kemenkominfo.

Dari hasil pemeriksaan terhadap Edward, penyidik Kejagung menemukan bukti berupa penerimaan uang satu juta dolar AS untuk menutup kasus korupsi BTS 4G itu.

Edward dinilai melakukan permufakatan jahat, menyuap, atau gratifikasi, atau menerima, menguasai, memanfaatkan, menggunakan harta kekayaan berupa uang sebesar Rp 15 miliar, yang diketahuinya merupakan uang hasil tindak pidana korupsi penyediaan infrastruktur Paket-1 sampai dengan Paket-5 BTS 4G BAKTI.

Masih dari pemeriksaan, uang haram yang diterima oleh Edward atas pemberian terdakwa Galumbang Menak Simanjuntak (GMS) dan terdakwa Irwan Hermawan (IH) melalui inisial IC.

Atas perbuatannya tersebut, penyidik menjerat Edward dengan Pasal 15 juncto Pasal 5 ayat (1), atau Pasal 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) 31/1999-20/2001, atau Pasal 5 ayat (1) UU Tipikor.

Penetapan tersangka Edward merupakan hasil pengembangan dan turunan kasus dari penyidikan pokok perkara korupsi BTS 4G Bakti.

Nama Edward muncul di persidangan para terdakwa dan diduga sebagai makelar kasus untuk pengamanan perkara tersebut.

Terungkap dalam persidangan terdakwa Irwan Hermawan dan Galumbang Menak Simanjuntak, dalam profesinya sebagai pengacara, Edward menerima uang Rp 15 miliar untuk biaya menutup proses penyidikan korupsi yang sedang ditangani oleh Jampidsus Kejagung.

Tutup Kasus

Fakta persidangan dari eks Menkominfo Johnny Gerard Plate (JGP), eks Dirut Bakti Kemenkominfo Anang Achmad Latif (AAL), Tenaga Ahli HUDEV-UI Yohan Suryanto (YS), Direktur PT Mora Telematika Indonesia Galumbang Menak Simanjuntak (GMS),Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan (IH), serta Akuntan PT Huwaei Tech Investmen Mukti Ali (MA) memang menyajikan fakta menarik yakni adanya aliran uang senilai Rp 243 miliar untuk “Tutup Kasus”.

Kabarnya, terungkap ada 11 nama penerima aliran uang setotal Rp 243 miliar itu. Dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Irwan Hermawan dan tersangka Windy Purnama saat keduanya hadir sebagai saksi di persidangan, Edward memang menerima uang.

Selain itu, ada nama Nistra Yohan selaku staf ahli anggota Komisi 1 DPR yang menerima Rp 70 miliar. Muncul pula nama Sadikin yang disebut sebagai pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menerima aliran Rp 40 miliar.

Ada juga nama Wilbertus Natalius Wisang (WNW) alias Si Bertho yang menerima Rp 4 miliar dan Windu Aji Sutanto senilai Rp 75 miliar. Adapun Wilbertus Wisang alias Bertho sudah ditetapkan tersangka.

Pun Windu Aji sudah ditetapkan tersangka, namun dalam perkara yang berbeda terkait korupsi pertambangan nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Selain itu juga ada nama Dito Ariotedjo, yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) disebut-sebut turut menerima Rp 27 miliar.

Namun Dito Ariotedjo saat dihadirkan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Rabu (11/10), politikus muda Partai Golkar itu membantah dan mengaku tak kenal dengan Irwan Hermawan. Dito hanya mengaku kenal dengan Galumbang Menak Simanjuntak.

Kita tentu berharap Kejagung tak berhenti di nama-nama yang sudah menjadi tersangka dalam penyelesaian kasus ini. Sejumlah nama yang sudah disebut dan menjadi fakta pengadilan masih menjadi hutang ke publik untuk dituntaskan statusnya.

Membiarkan nama-nama yang dicurigai tak dituntaskan status hukumnya tak hanya merugikan mereka yang disebut-sebut, tetapi juga institusi Kejagung dan Pengadilan yang akan dianggap tebang pilih dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

@IndoTelko