APJATEL ingatkan Pemprov DKI Jakarta soal potensi biaya tinggi SJUT

JAKARTA (IndoTelko) - Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) mengingatkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tentang potensi munculnya biaya tinggi dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (Raperda SJUT) di Provinsi DKI Jakarta.

Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) Jerry Mangasas Swandy mengungkapkan Raperda SJUT yang tengah dibahas oleh Pemprov DKI Jakarta dengan DPRD akan mengenakan beban biaya baru kepada seluruh badan usaha yang menggelar jaringaan telekomunikasi, listrik, air, dan gas di wilayah DKI Jakarta.

"Dalam Raperda tersebut, salah satu poinnya adalah mengenai pengenaan biaya sewa barang milik daerah dan SJUT," ungkapnya.

Dijelaskannya, jika operator telekomunikasi dikenakan beban biaya baru yang berpotensi meningkatkan biaya pembangunan infrastruktur, rencana besar Presiden Joko Widodo yang menginginkan mewujudkan transformasi digital di Indonesia juga bisa terhambat.

"Padahal, Presiden Joko Widodo ingin memberikan layanan broadband kepada masyarakat seluruh Indonesia dengan harga yang terjangkau," ucapnya.

Diungkapkannya, dalam Pasal 4, Poin D, rencana perubahan Perda Nomor 8 Tahun 1999 tentang Jaringan Utilitas, operator pengguna SJUT akan diwajibkan membayar retribusi atau tarif rutin kepada Pemprov DKI. Perda tersebut diperkuat dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta 106 tahun 2019.

Selanjutnya, melalui Ingub No 69 tahun 2020, Jakpro, sebagai BUMD, diperintahkan untuk melaksanakan pembuatan SJUT. Namun kenyataannya, Jakpro menyerahkan pembangunan SJUT ke Jakarta Infrastruktur Propertindo yang merupakan anak usahanya.

Dipaparkannya, saat ini ada lebih dari 40 operator telekomunikasi di Jakarta yang menggelar jaringan telekomunikasi. Jika Pemprov DKI Jakarta menerapkan harga sewa SJUT berdasarkan pendekatan bisnis dan peningkatan PAD, harga layanan internet di DKI Jakarta dipastikan akan naik.

Selama ini, 40 operator telekomunikasi di Jakarta sudah berdialog dengan Pemprov DKI Jakarta sejak tahun 2019. Namun, hingga saat ini, belum ditemukan titik temu antara Jakpro dengan operator penyelenggara jaringan telekomunikasi yang diwakili oleh Apjatel.

Apjatel dan Pemprov DKI Jakarta belum menyepakati disain dan harga sewa yang akan dikenakan. Apjatel juga sudah menyampaikan daftar inventaris masalah (DIM) yang ada di revisi perda tersebut. Namun, DIM yang disampaikan tak digubris oleh Pemprov DKI Jakarta.

Diingatkannya, Raperda SJUT yang dikirimkan oleh Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) Pemprov DKI Jakarta masih bertentangan dengan regulasi di atasnya.

Beberapa di antaranya, raperda tersebut seharusnya merujuk kepada UU Telekomunikasi serta turunannya, Perpu tentang Cipta Kerja serta turunannya, dan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Jerry memberikan contoh, pada Perpu Cipta kerja jelas disebutkan bahwa pemerintah pusat atau daerah dapat membangun jaringan pasif. Sedangkan di raperda disebutkan wajib, sehingga bertentangan dengan Perpu Cipta Kerja.

"Jika Pemprov DKI tetap ngotot untuk melanjutkan pembahasan Raperda SJUT tanpa mengindahkan regulasi yang lebih tinggi, Apjatel akan menempuh judicial review ke Mahkamah Agung. Sebab, apabila raperda disetujui beserta substansinya jelas bertentangan dengan regulasi di atasnya," ucap Jerry.

Sementara Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute Dr Ahmad Redi, SH, MH, berpendapat, secara umum, Raperda yang tengah dibahas Pemprov dan DPRD DKI Jakarta tersebut akan bertentangan dengan Perppu UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta turunannya.

Dalam Pasal 71 UU Perppu Cipta Kerja, Bagian Telekomunikasi, Pasal 34A dijelaskan, pemerintah pusat dan daerah memberikan fasilitasi dan/atau kemudahan kepada penyelenggara telekomunikasi untuk melakukan pembangunan infrastruktur telekomunikasi secara transparan, akuntabel, dan efisien.

"Selain itu, pemerintah pusat dan daerah dapat berperan serta untuk menyediakan fasilitas bersama infrastruktur pasif telekomunikasi untuk digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi secara bersama dengan biaya terjangkau," ujar Redi.
Dalam PP 46/2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran, sebagai aturan pelaksana Perppu tersebut, pasal 21 juga disebutkan, pemerintah pusat dan daerah dapat berperan serta menyediakan fasilitas untuk digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi secara bersama dengan biaya wajar berupa tanah, bangunan, dan/atau infrastruktur pasif telekomunikasi.

Sementara itu, dalam memberikan fasilitasi dan/atau kemudahan, pemerintah daerah dan/atau instansi yang berwenang juga wajib berkoordinasi dengan menteri.

Peraturan Menteri (PM) Komunikasi dan Informatika 5/2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, juga menyebutkan, dalam hal pada suatu lokasi telah tersedia infrastruktur pasif, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan, ketersediaan kapasitas, dan kemampuan teknisnya.

Selain itu, tarif pemanfaatan infrastruktur pasif ditetapkan oleh penyedia infrastruktur pasif dengan harga yang wajar dan berbasis biaya. Jika tarif pemanfaatan infrastruktur pasif tidak sesuai dengan ketentuan, menteri dapat menetapkan tarif batas atas harga pemanfaatan infrastruktur pasif.

"Dari beberapa regulasi tersebut sudah nampak jelas kalau Raperda yang diusulkan Pemprov DKI ini bertentangan langsung dengan UU Cipta Kerja dan aturan turunannya," pungkasnya.(id)