Kominfo ingatkan peran pemerintah daerah dukung pembangunan infrastruktur telekomunikasi

JAKARTA (IndoTelko) - Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengingatkan peran pemerintah daerah dalam akselerasi tranformasi digital.

“Butuh kolaborasi, kerja sama dengan pemerintah daerah. Kalau tidak, fasilitas infrastruktur digital ada dimana, masyarakatnya ada di mana? Tidak nyambung. Jangan sampai yang seperti ini terjadi, di sinilah perlu kolaborasi. Ini bukan taking for granted, ini bukan asal terima saja, karenanya apa yang sudah dibangun ini harus digunakan semaksimal mungkin. Apa yang sedang dibangun harus ada kolaborasi yang kuat,” ungkap Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate.

Menurut Menteri Johnny, pemerataan akses internet lewat pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G dapat dilakukan berkat komitmen pembiayaan dan komitmen politik yang kuat dari pemerintah.

“Triliunan rupiah (untuk capital expenditure-nya). Belum lagi, nanti opex dan seterusnya, banyak. Ini uang negara dan membangun di kawasan yang tidak dibangun oleh mitra operator seluler karena kawasan di sini adalah nonkomersial atau yang sulit dibangun dan tidak menghasilkan return on investment yang memadai,” jelasnya.

Secara khusus, Menteri Johnny mengingatkan peran pemerintah daerah, karena pembangunan infrastruktur digital juga memerlukan ketersediaan lahan. Menurutnya dukungan pemeritah daerah diperlukan dalam menentukan tata ruang penempatan infrastruktur digital dan lokasi layanan yang membutuhkan akses telekomunikasi.

“Sekali Tower BTS dibangun di situ, rencana pembangunan dan tata ruang desa, kecamatan, kabupaten, berbasis infrastruktur itu. Jangan sampai infrastrukturnya dibangun di satu tempat, sementara aktivitas dibangun di tempat yang lain lagi. Hal-hal seperti ini kelihatan sederhana, tetapi sangat mempengaruhi kualitas layanan,” tuturnya

Dicontohkannya, pembangunan BTS dengan jangkauan layanan dengan radius 3 km tidak akan bisa optimal jika ditempatkan di puncak gunung yang jauh dari pemukiman masyarakat maupun fasilitas layanan publik seperti sekolah, puskesmas, kantor kepolisian, bahkan pos-pos militer.

“Sinyal tidak sampai, lalu tiba-tiba ada sekolah yang datang, siswa belajar, kepala desa naik pohon cari sinyal, anak-anak naik gunung, bukit, dan seterusnya, untuk mendapat sinyal karena tidak tersedia layanan sinyal, itu sebabnya pada saat menentukan titik lokasi pembangunan BTS tidak punya radius yang menjangkau pelayanan publik yang memadai,” jelasnya.

Hambatan
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Muhammad Arif menyampaikan, pelaku usaha telekomunikasi di Tanah Air sering menemui banyak hambatan ketika ekspansi ke daerah.

Hambatan yang kerap dihadapi antara lain tingginya pungutan sewa barang milik daerah atas pemanfaatan lahan untuk infrastruktur telekomunikasi. Hal ini terjadi karena pada umumnya BUMD ditunjuk sebagai kepanjangan tangan pemda dalam penyewaan sarana, sehingga ada kecenderungan beorientasi bisnis.

Selain itu, tidak adanya kejelasan rencana, komitmen, regulasi, dan ketetapan peraturan daerah yang berkaitan dengan kepastian usaha, sehingga penggelaran jaringan telekomunikasi menjadi investasi yang berulang bagi pelaku usaha jasa telekomunikasi/internet.

Hal tersebut terjadi antara lain pada pemanfaatan sarana jaringan utilisasi terpadu (SJUT) di DKI Jakarta, saluran kabel bawah tanah (ducting), dan pemanfaatan infrastruktur pasif.

“Sebagai contoh, penyelenggara jaringan/jasa telekomunikasi dipaksa untuk memindahkan jaringannya ke sarana utilitas milik pemerintah daerah. Padahal, penyelenggara baru saja menggelar jaringannya sesuai dengan izin dari pemda,” ungkapnya.

Ditambahkannya, pengurusan perizinan penggelaran jaringan telekomunikasi di daerah juga masih sering diidentikkan dengan kesempatan untuk mengenakan pungutan kepada penyelenggara jaringan/jasa telekomunikasi.

“Selama regulasi perizinan penggelaran jaringan di daerah masih berorientasi pada peningkatan PAD, pemerintah daerah akan semakin jauh dari upaya pemberian layanan internet yang terjangkau untuk masyarakat karena membebani penyelenggara telekomunikasi dengan berbagai pungutan regulasi,” ulasnya.(wn)