Jalan terjal TV digital

Kabar mengejutkan dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) awal pekan ini.

MA membatalkan Pasal 81 ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran (Postelsiar) yang diajukan Lombok Nuansa Televisi.

Pasal ini mengatur soal lembaga penyiaran menyewa slot multipleksing ke penyelenggaraan multipleksing.

Pasal 81 ayat 1 lengkapnya berbunyi: LPP, LPS, dan/atau LPK menyediakan layanan program siaran dengan menyewa slot multipleksing kepada penyelenggara multipleksing.

Putusan itu disahkan oleh ketua majelis Supandi dengan anggota Is Sudaryono dan Yodi Martono Wahyunadi. Ketiganya beralasan pasal yang digugat itu bertentangan dengan Pasal 60A UU Penyiaran jo Pasal 72 angka 8 UU Cipta Kerja.

Para hakim yang memutuskan perkara berpandangan pada dasarnya semangat dari UU Cipta Kerja adalah menciptakan iklim usaha yang pasti, kondusif dan adil bagi seluruh pelaku usaha, terutama bagi pelaku usaha penyiaran televisi. Namun, PP No 46/2021 sebagai peraturan pelaksana dari UU Penyiaran juncto UU Cipta Kerja malah menciptakan ketidakpastian, kekacauan dan diskriminasi bagi pelaku usaha penyiaran televisi, karena PP No. 46/2021 telah mengatur hal-hal yang bertentangan dengan UU Penyiaran juncto UU Cipta Kerja yaitu soal penyewaan slot multipleksing.

Pasal 60A UU Penyiaran sebagaimana disisipkan oleh Pasal 72 angka 8 UU Cipta Kerja menyatakan:
1.Penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digita
2.Migrasi penyiaran televisi terrestrial dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghentian siaran analog (analog switch off) diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini.
3.Ketentuan lebih lanjut mengenai migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Majelis menegaskan, migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital dan dampak dari analog switch off berlaku bagi seluruh pelaku industri penyiaran televisi, sehingga seharusnya kesempatan menjadi LPS yang ditetapkan sebagai Penyelenggara Multipleksing terbuka bagi seluruh pelaku industri penyiaran televisi. Namun faktanya PP No 46/2021 menciptakan diskriminasi bagi pelaku usaha penyiaran televisi berskala kecil lewat Pasal 81 ayat (1) PP No 46/2002.

Padahal, di Pasal 60A UU Penyiaran tidak ada norma yang mengatur bahwa LPS yang yang tidak ditetapkan sebagai Penyelenggara Multipleksing harus menyewa Slot multipleksing kepada LPS Multipleksing untuk dapat menyediakan layanan program siaran.

Minta Dihentikan
Kuasa hukum PT Lombok Nuansa Televisi, Gede Aditya Pratama meminta Kementrian Komunikasi dan Informatika (kominfo) untuk mematuhi keputusan MA dan tidak membuat hal hal yang bersifat inkonstitutional seperti menerbitkan PP baru yang materi muatannya sama.

Kominfo juga diminta menghentikan proses analog switch off (ASO) di seluruh Indonesia terhadap lembaga penyiaran yang telah memiliki Ijin Penyelenggaraan Penyiaran berdasarkan UU 32 tahun 2002 tentang penyiaran jo UU no 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (CK), sampai dengan diterbitkannya peraturan yang baru terkait multipleksing ini dalam bentuk UU.

Lombok TV sejauh ini sudah memiliki siaran analog maupun digital. Hanya saja, dengan proses ASO, untuk siaran digital harus melepas izin televisi analog yang sudah mendapat izin untuk 10 tahun.

Dalam catatan, ASO terhambat peristiwa hukum bukan yang pertama kali terjadi. MA pada 2013 pernah membatalkan Peraturan Menteri Kominfo No. 22/PER/M.KOMINFO/11/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Teresterial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Air).  

Akibatnya Permen 22/2011 dan produk turunnya yaitu 33 buah Surat Keputusan Menkominfo tentang Penetapan LPPPM dianggap cacat hukum dan dinyatakan batal oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta berdasarkan putusan perkara No.119/G/2014/PTUN.JKT yang diperkuat dengan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No.140B/2015/PT.TUN.JKT tertanggal 7 Juli 2015. Upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali oleh Kemkominfo beserta para tergugat intervensi tidak membuahkan hasil, sehingga program migrasi digital TV FTA menjadi terhenti kala itu.

Angin segar berhembus ketika UU Cipta Kerja (CK) hadir karena mengamantkan adanya ASO. Kominfo pun menindaklanjuti dengan membuat PP Postelsiar dan Peraturan Menteri (Permen) sebagai rujukan teknis.

Sayangnya, ketika menyusun PP dan Permen tak begitu mulus karena mulai bermunculan suara-suara menolak secara halus atau terang-terangan pelaksanaan ASO.

Isu-isu seperti diskriminasi perijinan dan perlakuan dan tidak ada perlindungan investasi bagi LPS lokal eksisting diingatkan harus diselesaikan oleh Kominfo sebelum memaksakan ASO berjalan.  

Amunisi baru didapat penentang ASO setelah keluar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara No.91/PVV-XVII/2020 yang menyatakan UUCK inkonstitusional bersyarat. Terlebih lagi dalam amar putusan ketujuh MK dalam perkara tersebut memutuskan "MENYATAKAN UNTUK MENANGGUHKAN SEGALA TINDAKAN/KEBIJAKAN YANG BERSIFAT STRATEGIS DAN BERDAMPAK LUAS, SERTA TIDAK DIBENARKAN PULA MENERBITKAN PERATURAN PELAKSANA BARU YANG BERKAITAN DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA”.

Amar putusan ketujuh MK secara tegas memerintahkan setiap aparatur negara termasuk Menkominfo dan jajarannya untuk menangguhkan segala kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Program ASO bisa didefiniskan termasuk dalam pengertian bersifat strategis dan berdampak luas.

Melihat situasi yang berkembang, ada baiknya Kominfo mengajak duduk bersama semua pemangku kepentingan di industri penyiaran untuk mencari jalan keluar pelaksanaan ASO yang ideal.

ASO adalah sebuah keniscayaan teknologi yang tak dapat ditolak, memaksakan ASO tanpa payung regulasi yang kuat tentu bukan jalan yang bijak.

@IndoTelko