LPPMII minta tinjau ulang ASO

Kamilov Sagala

JAKARTA (IndoTelko) - Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) meminta Menkominfo Johnny G Plate untuk meninjau ulang aksi suntik mati siaran TV Analog (Analog Switch Off/ASO) yang akan segera dilakukan.

Proses penghentian siaran analog secara bertahap akan dimulai pada 30 April 2022. Menkominfo selaku regulator telah menetapkan jadwal ASO berdasarkan Permen Kominfo No. 6 Tahun 2021 sebagaimana telah diubah dengan Permen Kominfo No. 11 Tahun 2021.

“Kami LPPMII memandang bahwa implementasi migrasi digital TV FTA selalu sarat dengan berbagai masalah. Akibatnya Permen 22/2011 dan produk turunnya yaitu 33 buah Surat Keputusan Menkominfo tentang Penetapan LPPPM dianggab cacat hukum dan dinyatakan batal oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta berdasarkan putusan perkara No.119/G/2014/PTUN.JKT yang diperkuat dengan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No.140B/2015/PT.TUN.JKT tertanggal 7 Juli 2015. Upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali oleh Kemkominfo beserta para tergugat intervensi tidak membuahkan hasil, sehingga program migrasi digital TV FTA menjadi terhenti,” tulis Direktur LPPMII Kamilov Sagala dalam surat terbukanya, kemarin.

Menurutnya, preseden buruk dalam program migrasi digital TV FTA di atas, kembali terulang pada penerapan ASO berdasarkan UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”), dimana kami LPPMII memandang adanya penyalahgunaan wewenang atau abuse of power, yang patut diduga dapat merusak tatanan usaha penyiaran, antara lain:

a. Diskriminasi perijinan dan perlakuan
Bahwa untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang Ijin Prinsip TV Digital, maka pasca putusan PTTUN Jakarta yang membatalkan 33 Surat Keputusan Menkominfo tentang Penetapan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing, Menkominfo menerbitkan Surat Edaran No. 4 Tahun 2015 (SE No.4/2015) yang menunda (moratorium) proses perijinan bagi pemegang Ijin Prinsip TV Digital. Surat Edaran tersebut sampai saat ini masih berlaku dan belum dicabut, sebagaimana ditegaskan oleh Direktur Penyiaran dalam suratnya nomor B.321/DJPPI.4/PI.03.02/03/2022 tertanggal 4 Maret 2022.

Bahkan surat Direktur Penyiaran tersebut menegaskan segala Ijin Prinsip TV Digital yang telah ada sebelum terbitnya SE No.4/2015 tidak dapat ditingkatkan menjadi IPP Tetap TV Digital sebelum seluruh tahapan ASO selesai pada tanggal 2 November 2022 dan seluruh LPS pemegang IPP Analog eksisting sudah mendapat slot siaran pada saluran multipleksing yang tersedia. Dengan demikian LPS pemegang Ijin Prinsip TV Digital hanya akan diproses menjadi IPP Tetap TV Digital apabila masih tersedia slot siaran pada infrastruktur multipleksing. Hal ini berarti tidak ada jaminan kepastian hukum bagi LPS pemegang Ijin Prinsip TV Digital untuk ditingkatkan menjadi IPP Tetap TV Digital.

Di tengah pemberlakuan moratorium, Kominfo memberikan perlakuan khusus kepada setidaknya 8 LPS Program Siaran pemegang Ijin Prinsip TV Digital, diantaranya ada 8 TV Nusantara dan CNN, dengan menerbitkan IPP tetap TV Digital pada periode 2019 dan 2020 tanpa adanya pengumuman peluang usaha. Padahal Permen Kominfo No. 3 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Penyiaran Simulcast Dalam Rangka Persiapan Migrasi Sistem Penyiaran Televisi Analog ke Sistem Penyiaran (Permen 3/2019) yang menjadi dasar hukum penerbitan IPP Tetap TV Digital tersebut mengharuskan adanya penetapan peluang usaha oleh Menkominfo untuk wilayah tertentu, kecuali untuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Sementara wilayah layanan siaran ke-8 TV Digital tersebut bukan berada di daerah 3T.

Diskriminasi semakin nyata pada saat salah satu dari 8 LPS tersebut, yang jelas-jelas belum berpengalaman dan tidak memiliki infrastuktur penyiaran sebagai syarat untuk mengikuti Seleksi Penyelenggara Multipleksing Tahun 2021, justru ditetapkan sebagai pemenang seleksi penyelenggara multipleksing untuk 2 wilayah layanan siaran. Sehingga proses seleksi tersebut patut dipertanyakan keabsahannya.

b. Tidak ada perlindungan investasi bagi LPS Lokal Eksisting
Para LPS Lokal eksisting yang notabene merupakan perusahaan nasional yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia selama ini sudah berkontribusi dalam melakukan diseminasi informasi, hiburan, dan edukasi kepada masyarakat. Pertanyaannya mau dibawa kemana investasi yang telah ditanamkan LPS Lokal tersebut saat dilaksanakannya ASO? Selayaknya pemerintah memberikan kompensasi atas investasi yang telah dilakukan oleh para LPS Lokal seperti tanah, gedung, alat pemancar, tower, dan lain lain yang secara keseluruhan akan menjadi idle dan sia-sia pada saat ASO.

Namun alih-alih memberikan kompensasi, pemerintah justru memaksa LPS Lokal untuk mengembalikan ISR Analog sebelum pelaksanaan ASO tahap I dengan ancaman pencabutan IPP LPS Lokal sebagaimana ditegaskan dalam Surat Direktur Penyiaran Kemkominfo tanggal 25 Februari 2022 dan dipertegas dengan SE Direktur Operasional Sumber Daya Kemkominfo No. 717 Tahun 2022. Untuk dapat tetap bersiaran, LPS Lokal harus menyewa slot siaran digital pada penyelenggara multipleksing. Pemerintah hanya berdalih bahwa digitalisasi penyiaran akan memberikan efisiensi biaya operasional kepada LPS, yang mana hal tersebut belum terbukti khususnya bagi LPS Lokal yang telah memiliki infrastruktur penyiaran sendiri.
Hal ini tentu tidak sejalan dengan semangat perlindungan investasi yang diusung oleh UU Cipta Kerja. Pemerintah dan Negara berkewajiban melidungi bisnis para LPS Lokal yang selama ini terbukti taat membayar pajak dan setia kepada NKRI selama berpuluh tahun.

Disayangkannya, pemerintah terkesan hanya fokus pada hasil riset Boston Consulting Group (BCG) pada tahun 2017 yang memperkirakan adanya multiplier effect yang sangat besar yang akan dihasilkan dari digital dividen hasil pelaksanaan ASO tersebut, sementara di sisi lain pandemi dan dampak COVID-19 terhadap penurunan ekonomi dan dampak sosial lainnya selama dua tahun terakhir ini tentunya tidak menjadi variabel asumsi dalam melakukan riset tersebut. Dengan demikian, konklusi dan rekomendasi dari riset BCG tersebut kemungkinan besar sudah tidak relevan dengan situasi dan kondisi saat ini.

Merugikan
Lebih lanjut Kamilov menyatakan pelaksanaan program ASO tahap I berpotensi merugikan masyarakat karena akan mengakibatkan adanya kelompok warga masyarakat yang tidak dapat menikmati siaran TV Digital. Hal ini sebabkan:
a. Jumlah 6,7 juta rumah tangga miskin penerima STB gratis yang ditetapkan Kemkominfo berdasarkan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) masih harus dipertanyakan, karena terdapat perbedaan dengan data BPJS yang mencatat adanya 69 juta jiwa masyarakat miskin Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan. Dengan menggunakan asumsi 1 keluarga terdiri dari 4 jiwa, maka jumlah keluarga miskin berdasarkan data PBI BPJS Kesehatan tersebut adalah 17,25 juta keluarga. Perbedaan data jumlah rumah tangga miskin harus divalidasi agar distribusi STB gratis tepat sasaran.
b. Berdasarkan hasil survei MUC Consulting Group tahun 2021 yang ditunjuk oleh Kemkominfo, tingkat pengetahuan masyarakat terhadap ASO masih sangat rendah.
c. Ketersediaan Set Top Box (STB) bagi warga non-DTKS masih belum merata di pasaran.
d. Jumlah STB gratis untuk rumah tangga miskin di 12 provinsi yang bersumber dari komitmen awal penyelenggara multipleksing sebanyak 8,7 juta unit (sumber: Bisnis.Com, tanggal 10 Juni 2021). Seharusnya jumlah STB tersebut cukup untuk mengakomodir 6,7 juta rumah tangga miskin yang diklaim oleh Kemkominfo. Namun kami heran mengapa jumlah komitmen STB tersebut menjadi berkurang sehingga Kemkominfo justru terpaksa harus menambah 1 juta STB untuk memenuhi kekurangan 6,7 juta STB gratis bagi rumah tangga miskin. Walaupun sesungguhnya angka 6,7 juta tersebut masih dipertanyakan lagi validitasnya.
e. Kami mengamati pelaksanaan distribusi STB oleh Penyelenggara Multipleksing maupun Kemkominfo dalam tiga minggu menjelang ASO Tahap I masih sangat rendah.

Belum lagi kendala dalam proses produksi dan distribusi STB kepada masyarakat berpotensi langsung menurunkan jumlah penonton televisi di tengah gempuran disrupsi digital yang dapat mengakibatkan TV menjadi tidak relevan lagi sehingga rate iklan berkurang secara drastis. Hal ini akan mengganggu keberlangsungan usaha LPS, khususnya LPS Lokal.

LPPMII mengusulkan agar Kemkominfo segera menyelenggarakan DUDUK BERSAMA yang melibatkan seluruh stakeholder penyiaran, bukan hanya LPS Penyelenggara Multipleksing dan LPS Digital yang menggebu-gebu mendukung ASO karena akan dapat bersiaran tanpa harus melakukan investasi awal. DUDUK BERSAMAmenetapkan blueprint dan membahas kendala-kendala migrasi siaran TV digital agar ASO berjalan lancar sesuai program pemerintah.

“Tanpa DUDUK BERSAMA, kami memprediksi ASO Tahap I akan berpotensi menimbulkan kekacauan dan kegaduhan karena sesungguhnya pelaksanaan ASO ini telah kehilangan legitimasinya berdasarkan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) dalam perkara No.91/PVV-XVII/2020 yang menyatakan UUCK inkonstitusional bersyarat. Terlebih lagi dalam amar putusan ketujuh MK dalam perkara tersebut memutuskan "MENYATAKAN UNTUK MENANGGUHKAN SEGALA TINDAKAN/KEBIJAKAN YANG BERSIFAT STRATEGIS DAN BERDAMPAK LUAS, SERTA TIDAK DIBENARKAN PULA MENERBITKAN PERATURAN PELAKSANA BARU YANG BERKAITAN DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA” Amar putusan ketujuh MK secara tegas memerintahkan setiap aparatur negara termasuk Menkominfo dan jajarannya untuk menangguhkan segala kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Menurut kami, program ASO termasuk dalam pengertian bersifat strategis dan berdampak luas sebagaimana dimaksud dalam amar putusan ketujuh MK tersebut. Oleh karena itu, Kominfo harus berhati-hati melaksanakan ASO agar tidak mengganggu proses digitalisasi yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya pada Hari Penyiaran Nasional ke-89,” pungkasnya.(ak)