Tendangan maut pajak digital

Pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap transaksi layanan teknologi finansial atau financial technology (fintech) mulai 1 Mei 2022.

Kebijakan tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Regulasi ini merupakan salah satu aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam PMK Nomor 69 Tahun 2022 dijelaskan pemerintah perlu mengatur mengenai penunjukan pemotong Pajak Penghasilan dan pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan sehubungan dengan transaksi layanan pinjam meminjam, serta perlakuan pajak pertambahan nilai atas jasa penyelenggaraan teknologi.

Secara rinci, aturan yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 1 April 2022 ini mengatur pengenaan PPN yang berlaku atas penyerahan jasa penyelenggaraan fintech oleh pengusaha.

Adapun penyelenggara fintech itu, meliputi penyedia jasa pembayaran (payment), penyelenggara penyelesaian transaksi investasi, penghimpunan modal (crowdfunding), layanan pinjam meminjam, pengelolaan investasi, penyediaan produk asuransi on-line, pendukung pasar, serta layanan pendukung keuangan digital, dan aktivitas jasa keuangan lainnya.

Penyedia jasa pembayaran lainnya, berupa uang elektronik (e-money), dompet elektronik (e-wallet), gerbang pembayaran (payment gateway), layanan switching, kliring, penyelesaian akhir, dan transfer dana. Adapun, pendukung keuangan digital dan aktivitas jasa keuangan lainnya, antara lain berupa e-wakaf, e-zakat, robo advise, dan produk berbasis aplikasi blockchain.

Seperti diketahui, tarif PPN yang berlaku saat ini adalah sebesar 11 persen.

Selanjutnya, pengenaan PPh berlaku terhadap pemberi pinjaman yang memperoleh penghasilan berupa bunga pinjaman atau imbal hasil. Penghasilan itu wajib dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT).

Pemberi pinjaman dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif 15 persen dari jumlah bruto bunga, jika merupakan Wajib Pajak (WP) dalam negeri dan bentuk usaha tetap. Sementara, pemberi pinjaman dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20 persen dari jumlah bruto bunga, bila merupakan WP luar negeri selain bentuk usaha tetap.

“Penyelenggara layanan pinjam meminjam ditunjuk untuk melakukan pemotongan PPh. Penyelenggara layanan pinjam meminjam merupakan penyelenggara layanan pinjam meminjam yang telah memiliki izin dan/atau terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” tulis PMK Nomor 69 Tahun 2022.

Aset Kripto
Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan aturan pemajakan transaksi aset kripto. Pajak yang juga berlaku mulai 1 Mei 2022 ini termaktub dalam PMK Nomor 68/PMK/03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto.

Alasan penarikan pajak dari transaksi aset kripto untuk memberikan kepastian hukum, kesederhanaan, dan kemudahan administrasi pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak.

Mengutip Pasal 2 PMK Nomor 68 Tahun 2022, transaksi yang akan dipungut pajak, yakni jasa penyediaan sarana elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan aset kripto oleh penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik.

“Jasa kena pajak berupa jasa verifikasi transaksi aset kripto dan/atau jasa manajemen kelompok penambang aset kripto (mining pool) oleh penambang aset kripto. Ini termasuk pada jual beli aset kripto dengan mata uang fiat, tukar-menukar aset kripto dengan aset kripto lainya, serta tukar menukar aset kripto dengan barang selain aset kripto atau jasa,” tulis pasal itu.

Penyelenggara perdagangan termasuk yang menyediakan transaksi jual beli aset kripto dengan mata uang fiat; tukar menukar aset kripto; dan dompet elektronik—meliputi deposit, penarikan dana, pemindahan aset kripto ke akun pihak lain, dan penyediaan dan/atau pengelolaan media penyimpanan aset kripto.

Tarif PPN yang dipungut dan disetor pedagang fisik aset kripto sebesar 1 persen dikali nilai transaksi kripto. Bila perdagangan tidak dilakukan pedagang fisik aset kripto, maka PPN yang dipungut dan disetor sebesar 2 persen dikali nilai transaksi kripto.  

Atas penyerahan jasa verifikasi transaksi aset kripto dan mining pool, PPN yang harus dipungut dan disetor sebesar 10 persen dari tarif PPN umum, yaitu 1,1 persen—dikali dengan nilai berupa uang atas aset kripto yang diterima penambang.

Mengenai PPh, Pasal 19 dalam PMK Nomor 68 Tahun 2022, mengatur penghasilan yang diterima oleh penjual aset kripto, penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik, dan penambang merupakan penghasilan yang terutang. Penjual aset kripto adalah orang pribadi atau badan yang melakukan penjualan ataupun pertukaran aset kripto.

Penjual itu dikenai PPh Pasal 22 yang bersifat final dengan tarif 0,1 persen. PPh Pasal 22 dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh penyelenggara perdagangan. Bila penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik bukan pedagang fisik aset kripto, PPh Pasal 22 bersifat final yang dipungut sebesar 0,2 persen. Bagi penambang, pengenaan PPh Pasal 22 bersifat final dengan tarif 0,1 persen. Bagi penambang, PPh Pasal 22 harus disetorkan sendiri.

Dasar penarikan PPN dan PPh ini dilihat dari pergerakan aset kripto itu sendiri. Ketika aset itu bergerak, dari satu akun ke akun lain. Apakah itu dalam konteks jual-beli atau dalam konteks tukar-menukar, itu terutang PPN.

Pemerintah membedakan tarif PPN aset kripto berdasarkan izin Bappebti. Jika dilakukan melalui exchanger terdaftar, tarif PPN yang dikenakan sebesar 0,11%. Sedangkan exchanger tidak terdaftar, tarif PPN menjadi sebesar 0,22%.

Dampak
Para pedagang cryptocurrency seperti Indodax dan Tokocrypto menilai, besaran pajak kripto yang dikenakan terlalu memberatkan.

Di satu sisi, pelaku usaha mengakui pengenaan pajak kripto akan menambah legalitas industri. Ini menandakan bahwa kripto sudah menjadi aset atau komoditas yang sah di mata hukum negara.

Namin, melihat nilai PPN dan PPh ditotal menjadi 0,2%. Di sisi lain, investor sudah dibebankan fee exchange 0,3%. Para pelaku usaha berharap besaran pajak hanya 0,05% masing-masing untuk PPN dan PPh, sehingga total pajak yang dikenakan di industri 0,1%.

Pajak yang terlalu tinggi akan membuat investor merasa rugi dan tidak adil. Sebab, investor dikenakan pajak jika untung. Namun tak memperoleh pengurangan pajak saat rugi. Padahal yang namanya investasi di instrumen berisiko tinggi, akan penuh dengan ketidakpastian.

Total transaksi aset kripto diperkirakan sekitar Rp 850 triliun. Jika diterapkan pajak 0,2%, ada potensi penerimaan negara sekitar Rp 1 triliun.

Sementara dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima Atas UU 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan bahwa potensi penerimaan dari transaksi online marketplace mencapai Rp 3,63 triliun untuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan Rp 0,91 triliun untuk pajak penghasilan (PPh) pada 2021.

Potensi tersebut dihitung berdasarkan data faktur pajak atas komisi yang diterima oleh platform marketplace dalam masa pajak periode Januari sampai dengan Desember 2019 lalu.

Tak hanya itu, potensi penerimaan pajak atas penyaluran pinjaman melalui finansial teknologi berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2020 yakni Rp 0,43 triliun untuk PPh pasal 23, Rp 0,02 triliun untuk PPN, dan bea materai Rp 0,42 triliun.

Sedangkan potensi penerimaan atas jasa yang dilakukan oleh Youtuber pada tahun ini berdasarkan olahan data oleh otoritas pajak per jenis pajak yakni Rp 0,03 triliun dari PPh pasal 23, dan Rp 0,62 triliun dari PPN.

Pemerintah memang tengah getol mengejar potensi pajak dari sektor ekonomi digital.

Tahap pertama adalah memungut Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10 persen dari transaksi ekonomi digital di entitas tertentu pada tahun lalu. Hasilnya adalah ada 94 perusahaan digital dengan jumlah pungutan pajak mencapai Rp3,75 triliun pada tahun 2021.

Dalam mengejar pajak digital ini tantangannya adalah keterbukaan data yang mengindikasikan setoran yang diterima oleh negara masih jauh dari potensi penerimaannya.  

Untuk itu, agar kebijakan ini tepat sasaran isu ketepatan data transaksi sebagai alat ukur utama kevalidan penerimaan pajak negara perlu diselesaikan. Kedua, pemerintah menggunakan “equalization levy”, sebagai salah satu benchmarking kebijakan.

Hal ini agar ekosistem digital yang tengah tumbuh tetap terjaga.

@IndoTelko