Indonesia market paling menarik di Asia Tenggara

JAKARTA (IndoTelko) - Dalam sebuah acara media briefing yang digelar Red Hat via daring kemarin (16/12),  Senior Director, Telco Vertical, Red Hat APAC, Ben Panic mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar dalam transformasi peralihan dari 4G ke 5G.  Per Januari 2021 ada lebih dari 202 juta orang Indonesia yang online, mengalami kenaikan naik 27 juta (16 persen) dalam setahun. 
 
Dijelaskan Ben, 5G juga sudah termasuk dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional 2020-2024, meski service provider mengakui use case untuk konektivitas yang cepat itu masih terbatas. Tapi tetap sangat menjanjikan ketika spektrum 5G sudah tersedia di kota besar seperti Jakarta dan akan tersedia di sembilan kota besar lainnya awal 2022.
 
Dalam paparan bertema  Unlocking the potential of telco and the edge "Accelerating the road to digitization in Indonesia", Ben Panic mengatakan, ada peluang yang besar untuk digitalisasi di Indonesia. Menurutnya, Indonesia merupakan  salah satu market paling menarik di Asia Tenggara dengan populasi yang sangat mahir secara digital. Ada juga demand yang signifikan untuk layanan digital dengan penetrasi konektivitas mobile 125,6%. Sepertiga (33%) orang Indonesia juga mengklaim memiliki smartphone berkemampuan 5G. Ditegaskannya, bahwa angka ini bahkan lebih tinggi daripada market barat seperti AS (26%), Jerman (17%), Inggris (16%) dan Prancis (16 %), menurut International Telco Report 2021 dari YouGov. 
 
Dalam riset Google dan Temasek menunjukkan bahwa tahun ini ekonomi digital Indonesia akan mencapai US$70 miliar, naik 49 persen dari 2020. Indonesia sangat positif terhadap berbagai peluang yang ditawarkan oleh 5G. Lebih dari empat dari lima (83%) orang Indonesia yang disurvei oleh YouGov setuju dengan pernyataan: "5G akan mengubah cara orang terhubung ke internet", mengungguli sentimen di India dan China (masing-masing 80%), serta Singapura (71%) dan Australia (52%).
 
Menurutnya, peluang-peluang seperti ini tidak terjadi ketika kita beralih dari 3G ke 4G. Sekarang, kita melihat lahirnya teknologi telemedicine disupport oleh rendahnya latensi di jaringan 5G.  Aplikasi-aplikasi industri yang khusus, seperti di industri keamanan, penambangan, dan manajemen armada semuanya sedang dikembangkan dan digunakan. Ini benar-benar momentum yang menyenangkan bagi operator, mereka dapat mengembangkan aplikasi khusus yang baru untuk industri dan memanfaatkan jaringan mereka.  
 
Asosiasi GSM, merekomendasikan pada Maret lalu bahwa pemerintah Indonesia harus mengizinkan operator untuk menempati spektrum frekuensi rendah, menengah, dan tinggi untuk memberikan cakupan yang luas dan mendukung berbagai kasus penggunaan, bagi jaringan 5G. Pemerintah Indonesia sendiri mengatakan bahwa operator seluler membutuhkan alokasi spektrum setidaknya 2,047 Mhz di berbagai pita frekuensi. Hingga kini pemerintah hanya mengalokasikan 737 Mhz untuk operator telekomunikasi. Artinya, pemerintah harus merelokasi spektrum 1.310 MHz, hampir dua kali lipat dari kapasitas saat ini, dan menegosiasikan kembali ketentuan penggunaan spektrum dengan pemegang spektrum itu saat ini.
 
Dalam kesempatan itu, Ben juga memaparkan, ada 3 pilar untuk melakukan transformasi ke digital service provider (DSP), antara lain :
1. Digital Networks - yaitu memindahkan fungsi jaringan ke perangkat lunak yang berjalan pada platform komputasi standar.
2. Digital engagement dan operasional - memodernisasi operational support system (OSS) dan business support system (BSS):
a) Untuk mencapai agilitas dan efisiensi yang lebih besar untuk menurunkan biaya dan mempercepat terciptanya pendapatan
b) Memberikan layanan dan aplikasi baru  
c) Peningkatan customer experience dan NPS, bersama dengan pengurangan churn
3. Transformasi sistem pendukung bisnis:
a) Digital services - layanan baru, mitra ekosistem baru, dan model bisnis baru untuk memenuhi demand pelanggan.
b) Peningkatan pengalaman digital dan engagement pelanggan melalui penawaran khusus yang menargetkan kebutuhan pelanggan dan perilaku pembelian
 
Edge Computing
Yang dilakukan edge computing adalah menjembatani gap antara janji jaringan 5G dan kapabilitas jaringan yang ada sekarang untuk memenuhi peningkatan demand untuk layanan yang mampu memberikan pengalaman yang lebih baik. Edge computing akan mengakselerasi inovasi, di mana aplikasi dan service akan dibangun di berbagai cloud provider, dan menciptakan peluang bagi perusahaan telco untuk tak sekadar memberikan jaringan.
 
Jaringan ini adalah perpanjangan dari NFVI Red Hat yang berbasis Red Hat OpenStack Platform. Dengan distributed compute node (DCN) di Red Hat OpenStack Platform 13, kita sekarang dapat menjalankan sejumlah kecil node komputasi di jaringan edge sambil mengelolanya dari pusat. Ini membantu mencegah operasional yang mengalami silo sambil membuka peluang workload mobilitas di seluruh jaringan. 
 
Langkah menuju cloudification jaringan ini didukung melalui OpenShift yang memungkinkan operator meluncurkan solusi yang sudah containerized di berbagai tipe cloud tanpa refactoring perangkat lunak yang diperlukan. Open telco sangat penting, memungkinkan operator menentukan market yang ingin mereka bidik. Karena terbuka mereka memiliki fleksibilitas dalam proses pengambilan keputusan. Mereka tidak perlu mengikatkan diri pada satu vendor selama 5-7 tahun ke depan. Mereka punya pilihan, mereka punya kebebasan untuk berinovasi. Inovasi itu adalah tempat mereka memanfaatkan open source, di mana inovasi didorong oleh komunitas open source. Mereka bahkan bekerja di komunitas.
 
Ben menjelaskan, ada banyak use case edge yang sedang dikembangkan di market, tidak hanya memanfaatkan jaringan 5G tetapi juga edge. Use case inilah yang akan mendorong pertumbuhan dan peluang bagi operator. Anda dapat melihat bahwa keselamatan dan keamanan adalah tema umum di market edge saat ini. (ak)