Elegi hak digital di Indonesia

JAKARTA (IndoTelko) - Teknologi sudah menyatu dalam berbagai lini kehidupan kita, terlebih di masa pandemi. Pemberian data pribadi di internet menjadi hal yang lumrah dilakukan saat mengakses situs di internet.

Walau banyak memberi kemudahan, namun ada pula sejumlah dampak negatif yang mengancam privasi data seseorang seperti ancaman doxing dan pemalsuan data yang biasanya menargetkan kelompok masyarakat rentan termasuk para jurnalis – yang tentunya bertentangan dengan hak asasi manusia.

Untuk itulah Uni Eropa mengembangkan General Data Protection Regulation (GDPR) atau aturan yang bertujuan untuk melindungi serta menjaga data privasi dari masing- masing individu.

Elemen-elemen penting yang termuat dalam Modern Data Protection System tersebut berlaku umum dan berlaku horizontal sehingga dapat digunakan di berbagai sektor. Prinsip-prinsipnya bersifat teknologi netral, artinya bisa diterapkan terlepas dari teknologi mana pun yang diadopsi.

Sistem perlindungan data tersebut juga harus bisa memberikan kuasa kepada individu, untuk dapat digunakan sesuai kebutuhannya. Namun demikian, sistem ini juga perlu didukung oleh lembaga pengawas independen yang memiliki enforcement power yang efektif untuk terus menjaga akuntabilitasnya.

Selama tiga tahun penerapannya, GDPR telah berhasil mendorong lahirnya peraturan yang setara antara perusahaan-perusahaan di Uni Eropa maupun non Uni Eropa, dan dapat diaplikasikan untuk menyikapi perkembangan teknologi baru yang dinamis. Institusi bisnis dan sektor publik juga tampak makin terlatih dan berhasil membangun budaya kepatuhan akan perlindungan data pribadi. Selain itu semakin banyak studi yang berhasil dilakukan untuk menunjukkan hubungan penerapan perlindungan data pribadi yang baik dengan kinerja keuangan perusahaan.

Di Indonesia, teknologi digital pun sudah menjadi pendamping hidup bagi masyarakat, mulai dari kegiatan berbelanja, berkomunikasi, bahkan hingga urusan transportasi.

Pemerintah secara fundamental bertanggung jawab dalam memfasilitasi pemanfaatan teknologi informasi. Menurut UU ITE tiga pemangku kepentingan yang memegang peran penting dalam pelaksanaan dunia digital adalah Pemerintah, pelaku sistem elektronik, dan pengguna. Ada dua peran dan tanggung jawab Pemerintah yang fundamental. Pertama adalah memfasilitasi pemanfaat teknologi informasi mencakup penyusunan kebijakan, implementasi kebijakan itu dan memfasilitas infrastruktur. Pemerintah juga wajib mempromosikan dan mengedukasi masyarakat serta melakukan pengawasan.

Peran yang kedua adalah melindungi kepentingan umum dari penyalahgunaan teknologi dengan cara menyusun data registrasi para penyelenggara sistem elektronik sehingga masyarakat dapat melakukan pengecekan tentang data penyelenggara untuk memastikan keamanan indivitu. "Hal kedua adalah melakukan kebijakan pemutusan akses sehingga masyarakat terlindungi dari konten seperti pornografi atau sifatnya SARA,” tutur Koordinator Hukum dan Kerjasama Kemenkominfo Josua Sitompul.

Pengaksesan data pribadi seperti nama, tanggal lahir, alamat dan data dasar lainnya, biasanya didapatkan dari proses pendaftaran awal pengguna di sebuah situs atau aplikasi, yang sering bocor ke pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

“Padahal pengguna berhak diinformasikan tentang bagaimana data mereka dikumpulkan, disimpan, dan diproses. Pelaku sistem elektronik atau pengelola data, berkewajiban menginformasikan kepada pengguna apabila terjadi kebocoran data pribadi pengguna dari aplikasi atau situs milik pelaku sistem elektronik,” tutur Pendiri dan CEO Indonesia Digital Forensic Indonesia (DFI) Ruby Alamsyah.

Sementara Peneliti Utama Yayasan TIFA Sherly Haristya mengemukakan Indonesia sedang berjuang dalam tahap menyusun Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) untuk menjawab kebutuhan dan menyeimbangkan antara dua nilai dan tujuan yang sama pentingnya, yaitu mendorong perkembangan inovasi dan ekonomi, tanpa mengorbankan privasi dan perlindungan data pribadi masyarakat.(ak)