Bukalapak dan pertaruhan unicorn di bursa saham

Marketplace Bukalapak bekerja dalam senyap untuk melantai di bursa saham melalui penawaran umum saham (initial public offering/IPO) yang ditargetkan dapat dilaksanakan pada 28 Juli - 30 Juli 2021. 

PT Bukalapak.com Tbk (Bukalapak) mengharapkan pencatatan di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham BUKA dijadwalkan pada 6 Agustus 2021.

Rencananya, Bukalapak akan melepas sebanyak-banyaknya 25.765.504.851 lembar saham dengan nilai nominal Rp50.

Jumlah saham yang ditawarkan itu sebanyak-banyaknya sebesar 25% dari modal ditempatkan dan disetor perseroan setelah IPO. Harga penawaran IPO Rp 750-Rp 850. Bidikan dana segar yang diraup sekitar Rp21,90 triliun.

Aksi Bukalapak ini bisa menjadi pertaruhan untuk nama besar para Unicorn lokal yang akan melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Bukalapak diibaratkan akan menetapkan standar nantinya ukuran sukses bagi unicorn lokal sukses menggaet investor bursa karena menjadi yang pertama melaksanakan IPO. 

Sejauh ini, dimasa penawaran melansir Reuters mengatakan bahwa saham dengan kode BUKA akan dilepas di harga Rp 850/saham. Nilai ini merupakan batas atas dari harga penawaran sahamnya di kisaran RP 750-Rp 850/saham. 

Diikabarkan BUKA mengalami kelebihan permintaan hingga US$ 6 miliar atau setara dengan Rp 87 triliun (asumsi kurs Rp 14.500/US$) saat masa penawaran awal (bookbuilding).

Nilai tersebut setara dengan kelebihan permintaan (oversubscribe) sebanyak empat kali dari nilai yang ditawarkan oleh perusahaan.

Bukalapak menunjuk empat penjamin emisi (underwriter), terdiri dari penjamin emisi efek yakni PT UBS Sekuritas Indonesia dan Mirae Asset dan penjamin pelaksana emisi efek yakni Mandiri Sekuritas dan Buana Capital Sekuritas.

Perseroan pun telah menunjuk UBS AG Singapore Branch dan Merrill Lynch (Singapore) Pte Ltd untuk bertindak sebagai joint global coordinator dan joint bookrunners untuk memasarkan IPO kepada investor internasional.

Perseroan berencana mengalokasikan sekitar 66% dana hasil IPO untuk modal kerja. Sedangkan sisanya untuk modal kerja entitas anak. Rincian modal kerja entitas anak itu antara lain sekitar 15% dialokasikan kepada PT Buka Mitra Indonesia (BMI), sekitar 15% dialokasikan kepada PT Buka Usaha Indonesia.

Selanjutnya satu persen dialokasikan kepada PT Buka Investasi Bersama, sekitar satu persen kepada PT Buka Pengadaan Indonesia, satu persen untuk Bukalapak Pte Ltd, dan satu persen untuk PT Five Jack (Five Jack Indonesia).

Saham Bukalapak banyak dimiliki oleh investor dalam dan luar negeri seperti Emtek, Ant FInancial, Naver dan Microsoft.

Selain itu, Bukalapak juga mendapatkan kepercayaan dari beberapa perusahaan investasi dan keuangan terbaik, baik lokal, regional maupun global. Seperti GIC, Mirae Asset, Shinhan Bank, Standart Standart Chartered, BRI Ventures, dan Mandiri Capital.

Setelah IPO, Bukalapak akan melanjutkan strategis bisnis untuk Bukalapak dan Mitra Bukalapak. Seperti menambah produk, layanan, mitra, dan fitur-fitur jadi bisa mendapatkan akses modal yang baik. Bisnis model yang baik dan membantu masyarakat untuk bisa belanja lebih baik lagi.

Selain itu, dengan dana IPO digunakan untuk modal kerja perseroan yang dapat mendukung rencana strategis bisnis ke depan.  

Kinerja
Pada 2020, total processing value (TPV) Bukalapak mencapai Rp 85 triliun. Hingga 31 Desember 2020, jumlah pengguna yang terdaftar sebanyak 104,9 juta. 

Adapun dari TPV tersebut, sekitar 70% transaksi berasal dari kota-kota di luar wilayah tier 1. Hal ini tak lepas dari fokus Bukalapak dalam pemerataan ekonomi nasional. Bukalapak pun bertumbuh dengan performa finansial yang terus meningkat, strategi bisnis yang efektif, dan didukung oleh potensi pasar yang besar.

Dari 2018 hingga 2020, rata-rata tingkat pertumbuhan tahunan (compound annual growth rate/CAGR) pendapatan perseroan mencapai 115%. Pada 2020, Bukalapak memperbaiki posisi Ebitda, dari minus Rp 2,69 triliun menjadi minus Rp1,67 triliun.

Merujuk laporan keuangan, tercatat pendapatan bersih perseroan pada 2018 sebesar Rp 291,91 miliar. Kemudian meningkat pada tahun berikutnya menjadi Rp 1,08 triliun. Hingga pada akhir Desember 2020 tercatat sebesar Rp 1,35 triliun. Pendapatan pada tahun buku 2020 paling banyak berasal dari marketplace sebesar Rp 1,03 triliun.

Bukalapak masih mencatatkan kerugian, dari semula Rp 2,8 triliun pada 2019, menjadi Rp 1,35 triliun pada 2020.

Valuasi
Di tengah ramai peminat, sebagian pihak menilai valuasi Bukalapak terlalu mahal. 

Kalangan investor kini terpecah setidaknya menjadi dua golongan dalam memandang aksi korporasi Bukalapak. 

Pertama, golongan futuris yang rela membeli saham meski startup masih merugi lantaran mempertimbangkan prospek. Kedua, kaum tradisional yang enggan membeli saham mahal tapi masih merugi.

Bagi kalangan futuris, startup terutama yang sudah berskala big tech sudah tidak lagi bisa menggunakan valuasi konvensiona

Jika perusahaan tradisional menggunakan valuasi seperti price to earning ratio, big tech salah satunya menggunakan perbandingan antara gross merchandise value dengan EBITDA (GMV/EBITDA).

Kerugian bahkan merupakan hal yang wajar demi membentuk ekosistem yang kuat. 

Sementara dari kalkulasi analis, valuasi Bukalapak terlampau mahal jika menggunakan basis GMV lantaran hanya sekitar 1%-2% dari GMV yang bisa dikonversi menjadi pendapatan. Dengan metode ini, valuasi Bukalapak sekitar 1,5, kali, tiga kali lipat di atas Alibaba yang hanya 0,5 kali.

Sedangkan jika menggunakan metode valuasi perbandingan market cap dengan pendapatan, valuasi Bukalapak di level Rp 850 sekitar 64,8 kali.

Terlepas dari itu semua, sejauh ini respons terhadap kehadiran Bukalapak ternyata tak sepi peminat. Ini tentu menjadi sinyal cerah bagi para startup yang mencari sumber pendanaan baru.

@IndoTelko