Dag-dig-dug revisi UU ITE

Permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) guna menjamin rasa keadilan di masyarakat mulai direalisasikan oleh jajaran Kementrian di bawah koordinasi Kemenko Polhukam.

Dalam keterangannya, pada Jumat (11/6), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Moh. Mahfud MD menegaskan bahwa UU ITE tidak akan dicabut. Akan tetapi, berdasarkan hasil Tim Kajian UU ITE yang dilakukan Kemenko Polhukam, ada dua produk untuk memenuhi arahan Presiden terkait dengan revisi UU ITE.

“Pada tanggal 15 Februari, Presiden berpidato agar dilakukan kajian ulang. Pertama harus ada pedoman implementatif agar tidak dimain-mainkan seperti karet. Kedua, supaya dikaji mungkin substansinya memang kurang tepat. Berdasar itu, maka Menko Polhukam membentuk tim yang dipimpin oleh Deputi III, Sugeng Purnomo, yang kemudian melakukan telaah, yang hasilnya UU ITE tidak akan dicabut. Kesimpulan ini diperoleh sesudah kita melakukan FGD dengan tidak kurang dari 50 orang akademisi, praktisi hukum, NGO, korban UU ITE, pelapor UU ITE, politisi, jurnalis baik perorangan maupun organisasi, tetapi ada 2 produk untuk memenuhi arahan Presiden itu,” ujar Mahfud MD.

Pertama, adanya Surat Keputusan Bersama yang akan dikeluarkan oleh Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri, yang isinya pedoman implementasi kriteria-kriteria agar sama berlakunya bagi setiap orang. Kedua, akan dilakukan revisi terbatas, sifatnya semantik tapi substantif uraiannya.

“Misalnya masalah kesusilaan yang disebut di dalam Pasal 27 ayat (1). Sekarang ditegaskan pelaku yang dapat dijerat oleh Pasal 27 ayat (1) UU ITE terkait dengan penyebaran konten kesusilaan adalah pihak yang memiliki niat menyebarluaskan untuk diketahui oleh umum. Jadi bukan yang melakukan kesusilaan, tetapi yang menyebarkan itu yang kena. Jadi kalau orang cuma bicara mesum, membuat gambar-gambar melalui elektronik tetapi dia bukan penyebarnya itu tidak apa-apa. Dia bisa dihukum tetapi bukan dengan UU ITE, ada UU nya sendiri misalnya UU Pornografi,”kata Mahfud MD.

Kedua, misalnya pencemaran nama baik dan fitnah seperti diatur pasal 27 ayat (3). Di dalam usul revisi, dibedakan norma antara penyebaran nama baik dan fitnah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50.PU.6.2008 termasuk perubahan ancaman pidananya, diturunkan.

“Misalnya ada yang terbukti benar “Pak Mahfud itu dipunggungnya banyak tato, itu dulu adalah anggota preman”. Sesudah diperiksa tidak terbukti, itu namanya fitnah. Tapi kalau diperiksa betul ada tato itu namanya pencemaran, ghibah, bisa dihukum. Kalau tidak terbukti namanya fitnah, tapi kalau terbukti namun saya tidak tenang cerita itu didengar orang lain, maka bisa dihukum juga,” jelasnya.

Selain itu, ada delik aduan bahwa pihak yang menyampaikan pengaduan dalam pencemaran, fitnah, menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menggunakan sarana ITE hanya korban yang boleh menyampaikan pengaduan. Menko Polhukam mencontohkan, misalnya ada orang menghina seorang profesor menyangkut pribadi, yang boleh mengadu hany profesor atau kuasa hukumnya, bukan orang lain yang tidak ada kaitannya.

“Sekarang menurut Surat Edaran Kapolri dan kita adopsi di sini harus orang yang langsung menjadi korban yang melaporkan itu,”katanya.

Kemudian pemerasan atau pengancaman, Pasal 27 ayat (4). Dalam usul revisi dipertegas normanya dengan menguraikan unsur ancaman pencemaran, ancaman akan membuka rahasia, memaksa seseorang supaya memberikan barang seluruhnya atau sebagian kepunyaannya itu, supaya misalnya membuat pernyataan hutang yang dilakukan dengan menggunakan sarana eletronik. Sekarang jadi diurai agar tidak menjadi pasal karet.

Terakhir terkait ujaran kebencian. Dalam UU ITE normanya hanya menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat berdasar SARA.

Dalam revisi dipertegas dengan norma bukan hanya menyebarkan masalah SARA tetapi menghasut, mengajak, atau mempengaruhi ketika dia menyebarkan informasi itu.

“Kalau cuma menyebarkan tanpa niat, ini tidak bisa. Itu semua ditujukan untuk menimbulkan rasa benci, atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat berdasarkan SARA,” katanya.

Jika dilihat, perubahan pasal UU ITE yang diusulkan di satu sisi memang ada kemajuan, tapi di sisi lain tetap ada potensi pasal karet dan multitafsir.

Harapan masyarakat agar pasal-pasal multitafsir dan kontroversial seperti pasal 27 ayat 3 tentang defamasi agar total dicabut sepertinya tak tercapai.

Pasal ini dinilai banyak digunakan untuk mengekang kegiatan berekspresi warga, aktivis, dan jurnalis. Selain itu juga mengekang warga untuk mengkritik pihak polisi dan pemerintah.

Pasal ini juga membahas penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media massa. Butir ini sering digunakan untuk menuntut pidana netizen yang melayangkan kritik lewat dunia maya.

Selain pasal 27 ayat 3, daftar pasal-pasal bermasalah lainnya ternyata hanya "Dimodifikasi" bukan dicabut total. Misalnya, Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi yang tidak relevan. Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. Pasal 29 tentang ancaman kekerasan. Pasal 36 tentang kerugian. Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang. Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses. Pasal 45 ayat 3 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi.

Namun, harapan untuk melakukan perubahan masih ada karena paparan Polhukam menyatakan semua merupakan konsep yang diusulkan oleh tim. 

Kalau misalnya masuk di dalam Prolegnas Prioritas dan dilakukan pembahasan setelah revisinya bisa diterima, maka akan ada tahapan-tahapan berikutnya yaitu pembahasan di antara Kementerian dan Lembaga, kemudian akan mengundang berbagai pihak untuk memberikan masukkan.

Tentunya dalam proses nantinya di parlemen, diharapkan terjadi perubahan yang drastis.

@IndoTelko