Menebak hambatan konsolidasi Indosat-Tri

Langkah menuju konsolidasi antara PT Indosat Tbk (ISAT) atau Indosat Ooredoo dengan Hutchison 3 Indonesia (Tri) sepertinya masih panjang.

Perjanjian yang dimulai pada Desember 2020 antara PT Indosat Tbk dan PT Hutchison 3 melalui penandatanganan Exclusive and Non Legally Binding MoU di antara Ooredoo Q.P.S.C dengan CK Hutchison Holding Limited ternyata belum bisa terealisasi hingga akhir batas waktu.

Nota kesepahaman berisi rencana potensi transaksi menggabungkan dua perusahaan telekomunikasi di Indonesia yakni Indosat dan Tri. Meski begitu memang tidak ada spesifik menggunakan istilah merger di dalamnya.

Namun MoU tersebut bisa mengarah pada pilihan untuk menggabungkan dua perusahaan. Nota kesepahaman kedua perusahaan berakhir 30 April telah diperpanjang hingga 30 Juni 2021.

Kabarnya, kedua pemegang saham perusahaan masih membutuhkan waktu lebih banyak untuk melakukan merger. Mereka menyetujui untuk memperpanjang periode eksklusif negosiasi hingga akhir semester I-2021.

Kedua belah pihak berjanji akan terus bekerja untuk menyelesaikan due diligence serta syarat dan ketentuan kesepakatan.

Aksi konsolidasi ini mendapat dukungan penuh dari regulator. Harapannya, dengan terjadinya konsolidasi antar operator seluler ini, dapat memperkuat struktur permodalan, Sumber Daya Manusia, management dan kecepatan dalam pengambilan keputusan bisnis, khususnya Capex dan Opex dalam pembangunan infrasturktur TIK di wilayah kerja Non 3T yang saat ini belum selesai dibangun.

Konsolidasi juga diharapkan dapat mendukung pemanfaatan teknologi baru dan dapat mengawali 5G deployment di Indonesia.

Opensignal dalam kajiannya menyatakan apabila merger Indosat dan Tri terjadi dapat mengubah peta persaingan operator seluler di Indonesia sekaligus penantang terkuat Telkomsel.

Opensignal sendiri telah melakukan analisis apabila merger Indosat dan Tri terjadi. Opensignal melihat bahwa Indosat unggul dalam hal memberikan pengalaman kecepatan download dan upload internet yang lebih baik daripada Tri. Namun dari sisi pengalaman streaming video dan game, Tri jadi yang terdepan ketimbang Indosat.

Lantas kenapa konsolidasi belum terjadi? Banyak pihak menduga hal ini terkait dengan pengesahan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) yang merupakan pendukung PP No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PP NSPK) dan PP No. 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (PP Postelsiar). Kedua PP ini adalah turunan dari Undang-undang Cipta Kerja.

Seperti diketahui, salah satu yang diatur di Undang-undang Cipta Kerja adalah masalah pemanfaatan frekuensi yang merupakan sumber daya alam terbatas. Undang-undang ini memang sudah mengakomodasi pemanfaatan frekuensi ketika terjadi konsolidasi.

Pasal 26 dan Pasal 80 di beleid tersebut, menyebutkan pelaku usaha pemilik infrastruktur aktif bisa membuka akses pemanfaatan infrastruktur aktif berdasarkan kesepakatan kerja sama yang mempertimbangkan persaingan usaha yang sehat.

Kemudian pasal 50 dan Pasal 54 menyatakan pemegang izin penggunaan spektrum frekuensi radio dapat melakukan kerja sama penggunaan atau mengalihkan hak frekuensi kepada pihak lain berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat dan non-diskriminatif.

Undang-undang memang sudah memberikan lampu hijau, namun sepertinya pemegang saham Indosat dan Tri ingin punya kepastian hukum lebih pasti hingga ke level teknis agar tujuan dari merger yakni mengoptimalkan frekuensi tercapai.

@IndoTelko