Maju-mundur revisi UU ITE

Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat kejutan saat memberikan arahan dalam Rapat Pimpinan TNI dan Polri Tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2).

Jokowi memberikan isyarat akan merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menjamin rasa keadilan di masyarakat.

“Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi Undang-Undang ITE ini karena di sinilah hulunya. Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda yang mudah diinterpretasikan secara sepihak,” ucapnya seperti Disitat dari situs Setkab.

Dikatakannya, UU ITE memiliki semangat awal untuk menjaga agar ruang digital Indonesia berada dalam kondisi bersih, sehat, beretika, dan produktif. Namun, implementasi terhadap Undang-Undang tersebut jangan sampai menimbulkan rasa ketidakadilan.

Jokowi meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) untuk meningkatkan pengawasan agar implementasi terhadap penegakan UU ITE tersebut dapat berjalan secara konsisten, akuntabel, dan menjamin rasa keadilan di masyarakat.

“Negara kita adalah negara hukum yang harus menjalankan hukum yang seadil-adilnya, melindungi kepentingan yang lebih luas, dan sekaligus menjamin rasa keadilan masyarakat,” ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut Kepala Negara menuturkan pandangannya bahwa belakangan ini banyak masyarakat yang saling membuat laporan dengan menjadikan UU ITE sebagai salah satu rujukan hukumnya. Hal ini sering kali menjadikan proses hukum dianggap kurang memenuhi rasa keadilan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Kepala Negara memerintahkan Kapolri beserta seluruh jajarannya untuk lebih selektif dalam menyikapi dan menerima pelaporan yang menjadikan UU tersebut sebagai rujukan hukumnya.

“Pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir harus diterjemahkan secara hati-hati. Buat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal Undang-Undang ITE biar jelas,” kata Presiden.

Pedoman
Merespons keinginan Presiden, rencananya akan di bentuk tim untuk membahas penyusunan pedoman interpretasi atas UU ITE.

"Tim bertugas untuk membuat interpretasi yang lebih teknis dan memuat kriteria implementasi dari pasal-pasal yang dianggap pasal karet," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam keterangan pers.

Tim tersebut akan dipimpin oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate.

Dalam proses pembahasan, Kemenkominfo akan melibatkan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Polri, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.

Di sisi lain, pemerintah juga membentuk tim untuk membahas rencana revisi UU ITE. Pasalnya, sejumlah pihak mendorong pemerintah dan DPR merevisi pasal-pasal yang dianggap mengancam demokrasi.

Tim rencana revisi UU ITE akan mengundang pakar hukum, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), pakar, lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga kelompok gerakan pro-demokrasi.

Musuh Demokrasi
Sedangkan The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai UU ITE menjadi musuh besar kebebasan berekspresi dan berpendapat di dunia maya.

ICJR menyatakan sejak pertama kali diundangkan pada 2008, pasal pidana di UU ITE sudah dianggap bermasalah. Setelah digemparkan dengan kasus Prita Mulyasari, seorang Ibu yang dipidana karena mengirimkan kritik kepada pelayanan sebuah rumah sakit, UU ITE terus memakan korban.

Pada 2016, setelah rangkaian kasus dan uji materil di MK, UU ITE direvisi. Revisi itu ternyata tidak menghentikan daya rusak pasal-pasal pidana karet yang ada di UU ITE, beberapa kasus besar pun menyeruak ke publik.

Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai Feb 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang mencapai 88% (676 perkara).

Laporan terakhir safenetvoice menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis.

Sementara Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) mengungkapkan ada sembilan pasal bermasalah dalam UU ITE.  

Salah satu pasal bermasalah yang dimaksud masih terkait dengan pasal 27 ayat 3 tentang defamasi. Pasal ini disebut dapat digunakan untuk mengekang kegiatan berekspresi warga, aktivis, dan jurnalis. Selain itu juga mengekang warga untuk mengkritik pihak polisi dan pemerintah.

Pasal tersebut membahas penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media massa. Butir ini sering digunakan untuk menuntut pidana netizen yang melayangkan kritik lewat dunia maya.

Bunyi pasal tersebut adalah: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Selain pasal 27 ayat 3, berikut daftar pasal-pasal bermasalah lainnya karena rumusan pasalnya tidak ketat (karet) dan multitafsir.

Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi yang tidak relevan. pasal ini bermasalah soal sensor informasi. Pasal 27 ayat 1 tentang asusila. Pasal ini bermasah karena dapat digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online. pasal 27 ayat 3 tentang dafamasi, dianggap bisa digunakan untuk represi warga yang menkritik pemerintah, polisi, atau lembaga negara.

Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. Pasal ini dapat merepresi agama minoritas serta represi pada warga terkait kritik pada pihak polisi dan pemerintah.

Pasal 29 tentang ancaman kekerasan. Pasal ini bermasalah lantaran dapat dipakai untuk memidana orang yang ingin lapor ke polisi.

Pasal 36 tentang kerugian. Pasal ini dapat digunakan untuk memperberat hukuman pidana defamasi.

Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang. Pasal ini bermasalah karena dapat digunakan sebagai alasan internet shutdown untuk mencegah penyebarluasan dan penggunaan hoax.

Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses. Pasal ini bermasalah karena dapat menjadi penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan. Pasal 45 ayat 3 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dapat menahan tertuduh saat proses penyidikan.

Solusi
Jika melihat langkah pemerintah yang akan membuat pedoman pelaksanaan dari UU ITE, bisa dikatakan bukan sebagai solusi yang ditunggu masyarakat.

Apalagi, membuat tafsir UU ITE bukanlah ranah pemerintah, melainkan ranah hakim di pengadilan atau penegak hukum.

Alternatif yang bisa dikerjakan pemerintah untuk mendapatkan kepercayaan publik adalah merevisi UU ITE melalui DPR RI sebagai pembuat Undang Undang, Presiden RI membuat PERPPU, atau Pemerintah membuat usulan revisi UU ITE ke DPR RI.

Semua langkah ini dijamin oleh konstitusi sehingga menjadi angin segar bagi demokrasi.

@IndoTelko