Pers dalam kepungan pendengung

Hari Pers Nasional 2021 yang jatuh pada 9 Februari lalu diwarnai sebuah pernyataan mengejutkan dari Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir.

Haedar menilai musuh terbesar dunia pers saat ini adalah para buzzer yang dianggap tidak bertanggungjawab.  

“Pers Indonesia secara khusus dalam dinamika politik kebangsaan saat ini penting menjalankan fungsi checks and balances sebagaimana menjadi DNA media massa sepanjang sejarah di negeri manapun,” kata Haedar melalui keterangan tertulisnya.

Haedar mengingatkan, dalam usaha mencerdaskan bangsa, fungsi pers niscaya menjadi pranata sosial yang mengedukasi elite dan warga bangsa agar menjadi insan yang berpikir jernih, objektif, moderat, cerdas, beretika, dan berdaya kritis.

Bagi pelaku di industri media, terutama yang bermain di ranah online, pernyataan Haedar sepertinya layak dijadikan sebagai lonceng peringatan jika ingin bertahan di era false truth ini.

Kepungan
Isu kehadiran buzzer atau pendengung di dunia maya bukan pertama kali diapungkan oleh tokoh publik ke media massa.

Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) mendefinisikan buzzer sebagai individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian dan/atau membangun percakapan dan bergerak dengan motif tertentu. Ringkasnya, (buzzer) adalah pelaku, membuat suara-suara bising seperti dengung lebah.

CIPG memberi 4 karakteristik pada buzzer yakni Persuasif, Digerakkan motif tertentu (bayaran atau sukarela), Jaringan luas (punya akses ke informasi kunci), dan Punya kemampuan memproduksi konten.

Para Buzzer ini awalnya banyak digunakan untuk jasa memasarkan produk dan jasa. Pamor buzzer mulai mendapat tempat di ranah politik pada 2012. Saat itu, buzzer digunakan pada Pilgub DKI Jakarta.

Setelahnya buzzer dimanfaatkan  secara  luas  dalam  dunia  politik  ketika  adanya  Pemilihan Presiden  (Pilpres) tahun 2014, hingga sekarang.

Pola rekrutmen buzzer juga beragam. Mulai dari scouting melalui seleksi berjenjang dan pendekatan langsung hingga pembukaan lowongan pekerjaan sebagai buzzer.

Ada 3 strategi yang digunakan buzzer untuk mengamplifikasikan pesan. Pertama, dia bisa berkicau di Twitter menggunakan tagar untuk untuk membangun percakapan.

Kedua, buzzer juga bisa membuat atau memanfaatkan situs berita untuk meningkatan kredibilitas konten. Terakhir, buzzer dapat memanfaatkan jaringan tertentu dan aplikasi chat seperti WA atau Telegram untuk menyebarkan konten.

Para pendengung yang bergerak liar ini disebut-sebut menjadi ancaman bagi demokrasi karena berpotensi dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk menekan perbedaan dalam opini publik demi melanggengkan kekuasaannya.

Kehadiran buzzer juga menjadikan teknologi digital terkesan tersimplifikasi hanya masalah membuat trending sebuah isu, menciptakan polarisasi, dan perpecahan publik.

Disinilah diharapkan peran pers yang kredibel dan berintegritas mampu membawa pencari informasi keluar dari kepungan pendengung, agar akal sehat tetap menjadi pemenang dari sebuah diskursus publik.

@IndoTelko