JAKARTA (IndoTelko) - Saat internet telah menjadi bagian dari kehidupan sehari – hari dan penggunaan perangkat digital tumbuh sangat pesat, masyarakat menjadi mudah terpapar oleh limpahan informasi yang tersebar di dunia maya. Dunia baru yang dinamis ini membutuhkan pengguna online yang lebih cerdas untuk mendukung pemahaman yang lebih baik dalam mengkomunikasikan ide dan informasi.
Menurut Senior Manager Customer Growth kawasan Asia Tenggara dari Turnitin Yovita Marlina, literasi digital merupakan jawaban atas tantangan di era ini karena hal tersebut membantu masyarakat untuk memahami teknologi sehingga mereka dapat menggunakannya dengan aman dan efektif. Kemampuan untuk menemukan, mengolah, serta membuat informasi secara daring agar bermanfaat merupakan bagian dari literasi digital.
“Sangat penting bagi siswa untuk mempelajari hal ini sejak dini, terutama karena semakin berkembangnya pembelajaran berbasis daring. Namun, ketika informasi tersedia secara gratis, ada tantangan yang lebih besar untuk segera diatasi yaitu penyebaran informasi yang salah,” ungkapnya.
Pada pertengahan Juni 2020, Kepolisian Republik Indonesia telah mengidentifikasi lebih dari 130.000 berita palsu (hoaks) terkait pandemi selama tiga bulan terakhir, meskipun terdapat banyak statistik, informasi medis, dan studi ilmiah. Hoaks semacam itu dapat menimbulkan ketidakpercayaan pada pemerintah.
Seiring dengan pesatnya digitalisasi di Indonesia, sangatlah penting bagi bangsa ini untuk meningkatkan literasi digital dan membatasi sebaran informasi yang salah. Selama pandemi COVID-19, penyebaran informasi palsu telah menyebabkan kebingungan pada masyarakat. Aplikasi komunikasi seperti WhatsApp dan Telegram dibanjiri dengan berita palsu dan konspirasi tentang penyebaran virus.
Karena itu, tambah Yovita, sangatlah penting untuk memastikan bahwa siswa dibekali dengan kemampuan berpikir kritis dalam mengevaluasi kredibilitas sumber dan membuat penilaian tentang informasi yang disajikan kepada mereka.
“Terlalu besar konsekuensi yang dihadapi jika generasi muda tidak memiliki kemampuan ini,” imbuhnya.
Berita palsu / hoaks menyebar di media sosial dengan sangat pesat dan seringkali disertai dengan 'bukti', meskipun itu dibuat-buat. Sifat sensasionalnya menimbulkan respons emosional, yang mendorong orang untuk tidak memvalidasi informasi tersebut. Munculnya internet dan media sosial telah mengubah kemudahan interaksi dan mengubah orang dari sekedar konsumen konten menjadi produsen dan juga sebagai distributor.
Yovita mengatakan bahwa meski masyarakat paham bahayanya menyebarkan berita palsu, banyak orang melakukannya secara tidak sengaja. GeoPoll dan Universitas Notre Dame melakukan penelitian tentang penyebaran informasi yang salah di Indonesia, dan menemukan bahwa di antara pengguna media sosial, sekitar 70 persen mengaku berbagi berita tanpa membaca artikelnya secara lengkap terlebih dahulu. Hanya 3 hingga 4 persen yang mengatakan bahwa mereka sengaja membagikan berita yang mereka tahu palsu.
“Sekarang di Indonesia ada satuan tugas untuk menangani berita palsu. Pengguna platform komunikasi Telegram dan LINE dapat mengirim teks ke chatbot anti-hoax untuk memverifikasi keaslian berita,” katanya.
Literasi digital sangat dibutuhkan agar berhasil dalam ekonomi global dan mencegah penyebaran berita palsu. Maka dari itu, katanya lagi, pendidik harus memberdayakan siswa untuk memahami konsekuensi yang sesungguhnya dari penyebaran berita palsu, terutama di tengah pandemi. Dimulai dengan mengajarkan siswa betapa pentingnya memverifikasi sumber informasi yang dikutip dalam tugas sekolah mereka.
“Masyarakat harus belajar untuk lebih waspada terhadap berita palsu dan meluangkan waktu untuk memeriksa sumber referensi sebelum membagikannya,” katanya.
Untuk mendukung guru dalam mengedukasi siswa akan berita palsu, Turnitin telah merilis paket Source Credibility online yang berisi rencana pelajaran, video, kegiatan, dan panduan penilaian yang mendorong siswa untuk menemukan sumber yang lebih kredibel. Selain itu, alat seperti NewsGuard dapat membantu siswa memeriksa informasi dengan pandangan yang lebih kritis serta mengidentifikasi sumber terlegitimasi.
“Pendidik benar-benar memiliki peran penting dalam memastikan bahwa generasi mendatang, sebagai bagian dari warga negara dunia, dilengkapi dengan kemampuan memilah antara yang palsu dan asli terkait informasi dan pemberitaan,” tutupnya.(ak)