Melawan pelanggaran hak-hak digital

Laporan Freedom On The Net mengungkapkan terjadi penurunan terhadap skor kebebasan digital Indonesia.

Dalam laporan itu dinyataan berdasarkan faktor hambatan akses, pembatasan konten, dan pelanggaran hak pengguna digital, skor kebebasan digital Indonesia menurun, dari 51 (setengah-bebas) menjadi 49 (tidak bebas).

Tak hanya itu, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet) dalam Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2019, memberikan judul yang lumayan menyeramkan yakni "Bangkitnya Otoritarian Digital".

Dalam laporan itu, SafeNet menyatakan pelanggaran hak-hak digital di Indonesia tak hanya terjadi karena isu politik karena pemilihan presiden pada 2019 lalu, tetapi juga karena alasan lain.

Seperti konflik sosial dan lingkungan, terutama di daerah-daerah. Ada juga pembungkaman suara-suara kritis warga yang berekspresi dan berpendapat melalui Internet, terutama media sosial. Aktivis dan jurnalis menjadi kelompok paling banyak menjadi korban, selain munculnya korban-korban baru terutama di kalangan akademisi.

SafeNet menemukan warga dikriminalkan atau dilanggar hak atas rasa amannya karena aktivitasnya dalam mengawasi layanan publik menggunakan pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Dari aspek pasal pemidanaan, Pasal 27 ayat 3 UU ITE paling banyak digunakan. Disusul Pasal 28 ayat 2. Penggunaan dua pasal sekaligus juga muncul yaitu, Pasal 27 ayat 1  dengan Pasal 27 ayat 3. Terakhir, penggunaan Pasal 27 ayat 1 dengan Pasal 28 ayat 2 terdapat 1 kasus.

SafeNet mencatat data di Polri menunjukkan bahwa selama tiga tahun terakhir, jumlah kasus terkait Internet yang ditangani kepolisian memang terus bertambah yaitu 1.338 kasus pada 2017 lalu 2.552 (2018), dan 3.005 (sampai Oktober 2019).

SafeNet juga melihat kecenderungan setahun terakhir menunjukkan bahwa hak-hak digital di Indonesia yang baru dinikmati sekitar satu dekade terakhir, kini justru di bawah ancaman kekuasaan yang otoriter.

Membaca laporan Freedom On The Net dan SafeNet, seperti berita buruk bagi demokrasi yang selama ini diperjuangkan melalui reformasi pada 1998.

Sepertinya euforia kehadiran Internet dan media sosial menjadi ruang untuk tumbuh suburnya kebebasan masyarakat sipil dan mendorong lahirnya masyarakat madani (civil society) yang berlandaskan pada demokrasi seperti mulai terancam.

Kondisi ini tentu harus menjadi peringatan bagi semua pihak yang terlibat di ekosistem dunia maya.

Apalagi, pandemi Covid-19 kian membawa warga negara makin akrab dengan dunia maya dimana hak-hak digitalnya harus dilindungi oleh negara.

Sudah saatnya Indonesia memiliki hukum untuk keamanan digital yang sesuai standar HAM internasional. Saat ini banyak aturan hukum tentang proteksi data, tapi mekanisme pengawasannya belum jelas. 

Belum adanya Undang-undang khusus untuk perlindungan data, kriminalisasi dan defamasi siber, serangan digital tanpa pertanggungjawaban yang jelas, industri hoaks, hingga diskriminasi penegakan hukum menjadi masalah-masalah utama di dunia maya yang harus segera diselesaikan oleh negara.

Negara harus menyadari, hak-hak yang dimiliki manusia di dunia nyata harus dilindungi juga di dunia maya.

Negara harus bisa harus menyeimbangkan keamanan nasional dengan perlindungan HAM, termasuk di ranah digital agar demokrasi yang diperjuangkan melalui reformasi tak tercemar dan terjebak dalam otoritarian digital.  

Jika kondisi-kondisi yang dipaparkan di atas tak segera diperbaiki, maka kebebasan Internet yang pernah dianggap sebagai sebuah kemajuan di Indonesia sedang menunggu waktu untuk kembali ke masa kegelapan.

@IndoTelko