Mesin CEIR belum cair

Implementasi dari pengendalian International Mobile Equipment Identity (IMEI) untuk perangkat telekomunikasi jenis handphone, komputer genggam, dan komputer tablet (HKT) yang dimulai Selasa, 15 September 2020 Pukul 22.00 WIB, ternyata belum berjalan mulus.

Sistem Central Equipment Identity Register (CEIR) sebagai pusat pengolahan informasi IMEI yang dibangun oleh Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) untuk mengintegrasikan sistem Equipment Identity Register dari 5 operator ternyata belum cair alias berjalan sempurna.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) baru-baru ini mengungkapkan mesin CEIR sudah hampir penuh kapasitas datanya. Kondisi ini berakibat pada mesin CEIR tidak bisa menerima Tanda Pendaftaran Produk (TPP) IMEI dari Kemenperin yang terbaru.

Sesuai Peraturan, TPP Produksi dan TPP Impor, wajib memberikan realisasi dari rencana impor dan produksi. Ini menjadikan kapasitas CEIR cepat terisi.

Solusi sementara yang akan diambil adalah operator harus melihat IMEI mana yang aktif atau tidak aktif, sehingga bisa di-cleansing, hanya IMEI aktif saja yang ada di CEIR.

Kemenperin juga akan membuat surat pada pelaku usaha yang selama ingin mengajukan TPP agar melaporkan realisasinya. Sebab, data yang akan dimasukkan ke TTP hanya realisasi dari TPP Produks maupun TPP Impor.

Di sisi lain, data di CEIR bukan hanya berasal dari Kemenperin, melainkan juga Bea Cukai yang mendaftarkan IMEI perangkat yang dibeli dari luar negeri dan dibawa ke Indonesia. Alhasil, dari total kapasitas 1,2 miliar nomor IMEI, kini sudah terisi 95%.

Dampaknya, Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI) mengungkapkan sejak tanggal 23 September, data nomor IMEI baru dari pabrikan ponsel tidak bisa diunggah oleh Kemenperin. Ini menjadikan handphone baru di outlet anggota APSI tidak bisa mendapatkan sinyal.

Bukan hanya perangkat handphone, komputer genggam, dan tablet (HKT) ilegal saja yang tidak mendapat sinyal operator. Namun, juga perangkat non-HKT seperti mesin EDC yang terblokir atau tidak mendapatkan sinyal operator.

Seperti diketahui, setidaknya, ada tiga informasi yang mesti dikumpulkan di CEIR, yang terdiri dari nomor IMEI, MSISDN (Mobile Subscriber Integrated Services Digital Network Number), dan IMSI (International Mobile Subscriber Identity) dari ponsel pengguna. Ketiga data tersebut jika dikumpulkan bisa mencapai 1 miliar data.

Jika tak matang dalam pengumpulan database, maka bisa saja dalam implementasi pelanggan yang dirugikan. Misal, tak mendapat sinyal atau hanya mendapat sinyal 3G atau 2G walau ponsel bukan ilegal.

Realita yang terjadi memang menunjukkan ketidakmatangan dari regulasi pengendalian IMEI ini walau tujuannya mulia.

Sejak awal banyak pihak menyoroti peran pemerintah sebagai pihak yang paling memiliki kepentingan atas regulasi ini tetapi terkesan tak mau berinvestasi besar dalam membangun sistem dan perangkat.

Dibangunnya mesin CEIR oleh operator tanpa memikirkan skema insentif oleh pemerintah tentu menjadi hal yang lumrah menjadikan sistem tak berjalan maksimal.

Selayaknya pemerintah berkaca dengan melihat secara ekosistem pihak-phak mana yang paling berkepentingan dengan pengendalian IMEI ini, setelah itu mulai meminta urunan kewajiban sesuai dengan interest.

Mengandalkan salah satu pemain yang tidak memiliki kepentingan besar, tentu tak akan maksimal dalam implementasinya karena dipandang hanya sebagai beban tanpa cuan.

@IndoTelko