Jangan terburu-buru terapkan blokir IMEI Ponsel

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama operator seluler akhirnya melakukan uji coba mekanisme pemblokiran International Mobile Equipment Identity (IMEI) pada Senin (17/2) dan Selasa (18/2).

Uji coba dilakukan terhadap dua pilihan mekanisme pemblokiran IMEI yakni mekanisme Black List atau White List.

Mekanisme Black List menerapkan "normally on" yang memungkinkan  telepon seluler (Ponsel) legal dan ilegal mendapat sinyal.

Setelah diidentifikasi oleh sistem maka ponsel ilegal (cloning, malformat IMEI) akan dinotifikasi untuk diblokir. Waktu untuk dilakukan blokir berbeda tergantung kasusnya.  

Mekanisme White List menerapkan "normally off". Hanya ponsel memiliki IMEI legal yang dapat sinyal untuk menerima layanan telekomunikasi dari operator.

Uji coba mekanisme Black List diwakili oleh operator XL Axiata, sedangkan ujicoba mekanisme white list dilakukan terhadap operator Telkomsel.

Tanpa Juknis
Hal yang menarik fakta diungkap Wakil Direktur Utama PT Hutchison 3 Indonesia (H3I) Danny Buldansyah.

Pria yang juga Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) itu menyatakan meski tengat waktu pemberlakukan regulasi mengenai pembatasan IMEI illegal berlaku efektif 18 April 2020, namun hingga saat ini Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika masih belum menyelesaikan petunjuk teknis pelaksaan dari peraturan menteri yang dibuat pada akhir tahun 2019 yang lalu.

Alotnya pembahasan aturan teknis tersebut dikarenakan adanya dua pendapat mengenai pelaksaan aturan pembatasan tersebut.

Ada pihak yang menginginkan menggunakan metode whitelist dan ada pihak lain yang menginginkan menggunakan blacklist.

Konsep whitelist dimana IMEI adalah semua IMEI yang tidak tercatat dalam Sistem Informasi Basis Database IMEI Nasional (SIBINA) tidak akan bisa dipergunakan oleh operator di Indonesia.  

Sedangkan sistim blacklist adalah semua IMEI yang ada di Indonesia dapat beroperasi terlebih dahulu. Setelah kurun waktu beberapa  hari IMEI yang tak terdaftar di SIBINA akan diblokir.

Disarankannya pemerintah harus segera membuat use case dan  harus menjalankan  proof of concept dari dua mazhab pembatasan IMEI tersebut. Karena pengguna telekomunikasi ada yang membeli melalui layanan on line, pembelian melalui off line dan pengguna roaming. Tujuannya agar tidak ada konsumen yang dirugikan akibat kebijakan ini.

Saat ini hanya ada dua negara yang melakukan pembatasan IMEI. Meski ada dua mazhab pembatasan IMEI, Danny berharap polemik ini segera berakhir dan semua pihak harus mengutamakan perlindungan terhadap konsumen.

Agar perlindungan konsumen ini menjadi perhatian, menurut Danny seharusnya pemerintah dapat menjelaskan secara rinci kepada publik dan memberikan kepastian jika ada konsumen yang baru membeli HP namun kenyataannya alat telekomunikasinya di blokir, maka itu tanggung jawab siapa.

Danny juga berharap investasi yang dikeluarkan oleh operator dalam menjalankan regulasi pembatasan IMEI ini harus serendah mungkin. Jangan sampai ada operator yang terbebani dengan adanya  regulasi pembatasan IMEI tersebut.

Tetap Investasi
Baik itu whitelist maupun blacklist, operator telekomunikasi tetap harus menganggarkan investasi untuk membeli Equipment Identity Register (EIR) terpasang di hampir semua Mobile Switching Center (MSC).

EIR berisi register IMEI yang terdiri dari daftar hitam, daftar pengecualian dan daftar notifikasi. Saat call set up dibangun, ia dilakukan ke EIR tersebut. Saat diketahui bahwa info IMEI yang dia bawa ternyata ada dalam daftar hitam maka call set up tidak dilanjutkan. Ini yang disebut pemblokiran.

Pada jaringan 2G diperlukan banyak EIR untuk hampir semua MSC. Tapi saat ini ada teknologi yang dengan 1 EIR sudah cukup. Tiap MSC dihubungkan ke EIR tersebut dengan interface F. Sementara untuk jaringan 3G, semua Serving GPRS Support Node (SGSN) disambungkan kepada EIR tersebut degan interface Gf atau S13. Dan, pada jaringan 4G, setiap Mobility Management Equipment (MME) dihubungkann kepada EIR tersebut dengan interface S13. Jadi saat ini satu EIR bisa melayani jaringan 2G, 3G dan 4G.

EIR hanya mengeksekusi daftar yang diberikan oleh Data Base IMEI Nasional. Di Indonesia Data Base IMEI Nasional tersebut berada di Kemenperin dan disebut SIBINA. Kalau SIBINA megirimkan update daftar hitam ke EIR yang ada di operator maka EiR tersebut harus mengeksekusi update daftar tersebut.

Jadi kewenangan menemtukan daftar hitam ada di pengelola SIBINA. Jika negara memerintahkan pengelola SIBINA untuk memblikir IMEI teroris maka IMEI-nya tinggal dimasukkan ke daftar hitam. Update daftar hitam kemudian dikirim ke tiap operator untuk dieksekusi.

Investasi yang dibutuhkan untuk pengadaan EIR tergantung requirement yang diperintahkan oleh Kominfo dan vendor yang menyediakan perangkatnya. Untuk whitelist dibutuhkan satu perangkat lagi yang dinamakan Central EIR. Operator central EIR ini harus ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan untuk yang blacklist tetap menggunakan SIBINA.

Melihat masih belum matangnya secara regulasi dan teknis untuk penerapan validasi IMEI Ponsel, ada baiknya pemerintah duduk bersama dengan semua pemangku kepentingan untuk menuntaskan semua masalah yang belum selesai.

Memaksakan uji coba dan implementasi validasi IMEI Ponsel pada 18 April mendatang hanya membuat "kehebohan" nasional di tengah ekonomi yang tengah tak menentu.

@IndoTelko