Jarimu harimaumu

ilustrasi

Insiden penusukan Menko Polhukam Wiranto di Pandeglang, Banten, tak hanya menimbulkan luka bagi sang Jenderal, tetapi dampak sosial yang besar bagi keluarga besar Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Setidaknya itu dialami tiga anggota TNI yaitu Peltu YNS, anggota POMAU Lanud Muljono Surabaya, Komandan Distrik Militer Kendari, Kolonel HS, dan Sersan Dua Z.

Para anggota TNI tersebut mendapatkan sanksi atas ulah istri-istri mereka yang dianggap membuat pernyataan tak pantas di masing-masing akun media sosialnya terkait dengan insiden penusukan yang dialami Wiranto.

Para istri ini dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). TNI pun mendorong adanya peradilan umum untuk pelanggaran ini.

Sementara para suami harus rela dicopot dari jabatan dan menjalani hukuman kurungan selama 14 hari karena dianggap telah melakukan pelanggaran ringan.

Sanksi ini diambil karena para suami dianggap memenuhi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 yaitu hukum disiplin militer.

TNI mengambil sikap tegas karena dalam urusan politik, posisi prajuritnya dan Keluarga Besar Tentara (KBT) sudah jelas, netral.

"KBT dilarang berkomentar, termasuk di medsos yang berdampak pendiskreditan pemerintah atau simbol-simbol negara," tulis keterangan resmi TNI AU.

Kontroversi
Tak pelak, keputusan yang diambil TNI menimbulkan keriuhan di media sosial (Medsos).

Imparsial menilai tindakan TNI yang menghukum prajuritnya bahkan sampai memenjarakan akibat ulah sang istri sangat berlebihan. Sebab, pelaku dugaan tindak pidana bukan prajurit yang bersangkutan.

Dalam kacamata Imparsial, UU 25 Tahun 2014 mengatur disiplin bagi prajuritnya, bukan bagi keluarganya.

Artinya, dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh istri atau keluarga tidak bisa ditimpakan dan tidak mengikat kepada prajurit TNI. Apalagi, dugaan tindak pidana belum terbukti di pengadilan.

Sehingga menjadi sangat janggal bila ada prinsip tanggung renteng dalam penjatuhan hukuman kepada suami terhadap istrinya atau sebaliknya hukuman terhadap suami TNI atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh istrinya.

Hal lain yang menjadi sorotan adalah semangat dari UU 25 Tahun 2014 lebih kepada pembinaan bagi anggota TNI, sehingga hukuman yang diberikan dianggap lumayan keras.

Jarimu Harimaumu
Terlepas dari kontroversi, berita tentang anggota TNI dan istrinya yang mendapatkan hukuman lumayan keras ini seperti menambah deretan korban dari "Jarimu Harimaumu" sejak medsos tak sekadar menjadi sarana berkomunikasi tetapi tempat ekspresi pilihan politik dari penggunanya.

Jargon, "Bijak Bermedsos" atau "Jaga Jempolmu" hingga "Think Before Sharing" sepertinya belum tersosialisasi dengan baik kepada pengguna media sosial.

Para pengguna medsos sepertinya belum menyadari ada konsekuensi dari setiap postingan yang diunggahnya secara sosial atau hukum layaknya di dunia nyata.

Konsekuensi tentu akan kian berat jika pengguna memiliki posisi strategis atau terafiliasi dengan tokoh ternama di publik, dimana secara sosial dianggap memiliki edukasi dan literasi digital yang baik tentang "Bijak Bermedsos".

Ingatlah, sebuah pisau akan berguna jika digunakan sesuai tempatnya, tetapi bisa berubah menjadi senjata berbahaya jika yang memegang tak paham dengan fungsi dan tugasnya.

@IndoTelko