APJII minta RUU Kamtansiber tak terburu-buru disahkan

JAKARTA (IndoTelko) - Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak terburu-buru mengesahkan Rancangan Undang-undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU Kamtansiber) karena masih banyak hal yang harus dibahas dengan pemangku kepentingan.

APJII pada dasarnya setuju dengan adanya UU Keamanan dan Ketahanan Siber nantinya. Hal ini karena keamanan siber mutlak diperlukan oleh sebuah negara, termasuk Indonesia.

Perlu diketahui, keamanan siber tidak hanya terkait dengan informasi yang bersifat digital saja. Lebih jauh, keamanan siber ini meliputi aset-aset siber seperti infrastruktur kritis, yakni jaringan telekomunikasi, satelit, listrik, dan transportasi.

“Semangat dari RUU ini bagus, untuk melindungi keamanan siber. Terutama aset-aset siber yang begitu kritikal. Namun, APJII menghendaki untuk dibahasnya RUU tersebut terlebih dahulu bersama seluruh pemangku kepentingan terkait sebelum dijadikan UU,” ujar Ketua Bidang Keamanan Siber APJII, Eddy S. Jaya dalam keterangan kemarin.

Menurutnya, pembahasan bersama pemangku kepentingan terkait tidak bisa dilepaskan begitu saja. Hal tersebut penting, agar nantinya UU Keamanan dan Ketahanan Siber mampu mengkoordinir semua pemangku kepentingan di industri terkait. Sehingga nantinya, UU itu dapat diterima oleh seluruh kalangan.

“Kami berharap agar sebelum disahkannya UU Keamanan dan Kedaulatan Siber, para pemangku kepentingan dilibatkan untuk membahas RUU ini,” pungkasnya.

Pakar Keamanan Siber Mochammad James F. mengakui RUU Kamtansiber masih banyak "bolong" sehingga perlu pembahasan dengan melibatkan banyak pihak.

"Salah satunya di RUU Kamtansiber itu tak bahas isu penanganan krisis siber. Malah banyak bicara perizinan yang bertentangan dengan dunia siber," katanya.

Menurutnya, penanganan krisis siber harus memiliki protokol dan juga payung hukum. "Jangan sampai tim yang berhasil mengatasi kondisi krisis tersebut, dikemudian hari malah bermasalah dengan hukum. Karena dianggap selama proses antisipasi atau recovery krisis dianggap melakukan hal-hal yang melanggar hukum dalam kondisi normal," pungkasnya.(id)