Padamnya kota kami

Minggu (4/8) menjadi sejarah kelam yang dibuat Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Perusahaan setrum milik negara itu mengalami gangguan pada sisi transmisi Ungaran dan Pemalang 500 kV. Hal ini mengakibatkan transfer energi dari timur ke barat mengalami kegagalan.

Akibatnya, seluruh pembangkit di sisi tengah dan barat Jawa mengalami gangguan (trip). Aliran listrik kemudian padam di wilayah Jabodetabek, termasuk Banten, serta sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah selama belasan jam.

Pemadaman yang terjadi belasan jam itu menimbulkan bencana terhadap perekonomian nasional dan kerugian pada konsumen dalam skala besar dan luas.

Pemadaman juga berimbas buruk pada sektor pelayanan publik strategis seperti Transportasi Publik, Telekomunikasi, Sistim Pembayaran dan Jasa Keuangan.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara memperkirakan operator telekomunikasi menelan kerugian di atas Rp100 miliar akibat padamnya listrik dari PLN itu. Kalkulasinya, operator setidaknya bisa mendapat pendapatan sekitar Rp200 miliar per hari ketika akses listrik berjalan normal. Namun, pada Minggu kemarin, akses listrik mati hampir 12 jam.

Padamnya layanan operator berdampak juga ke transaksi elektronik seperti e-money atau Anjungan Tunai Mandiri (ATM).

Sehingga wajar Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Indonesia (LKBHI) menuntut ganti rugi dengan menggugat Dirut PLN ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan class action atau gugatan yang mewakili kelompok masyarakat didaftarkan terhadap Dirut PLN, Menteri BUMN sebagai tergugat dua dan turut tergugat Menteri ESDM.

Nilai gugatan kepada para tergugat sebesar Rp 40 triliun karena menganggap insiden matinya aliran listrik itu sangat merugikan masyarakat.

PLN sendiri memprediksi setidaknya ada 21,3 juta pelanggannya yang terkena dampak pemadaman listrik terdiri dari kategori pelanggan sosial, industri, dan pelanggan khusus. Jumlah itu mencapai 30% dari total 71 juta pelanggan PLN. Besaran kompensasi yang akan diberikan PLN tersebut sekitar Rp 1 triliun. Ini berdasarkan hasil hitung-hitungan manajemen PLN.

Pelajaran
Gagalnya PLN memberikan aliran listrik selama belasan jam itu harus menjadi pelajaran bagi pemerintah dengan mengevaluasi kembali Sistem Kelistrikan Nasional yang sangat monopolistis dengan memberikan insentif kepada Sistem Jaringan Listrik Independen untuk mengurangi beban negara dan mendorong investasi infrastruktur Kelistrikan Swasta terutama untuk Sistem Kelistrikan Kawasan dan Sistem Kelistrikan dengan Sumber Daya Terbarukan.

Saat ini barrier to entry bagi Independent Power Producer (IPP) sangat tinggi sehingga menyulitkan investor padahal bisa mengurangi beban Pemerintah, demikian juga banyaknya keluhan sulitnya producer masuk ke Sistem Jaringan PLN walau dari sumber energi terbarukan seperti sampah Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTS).

Pemerintah harus menyadari listrik menjadi single point of failure. Kegagalan proteksi keandalannya menyebabkan kegagalan di semua bidang kritikal yaitu telekomunikasi, finansial, dan transportasi.

Sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang strategi ketahanan enertgi nasional yang tampak masih rapuh jika benar-benar ingin kompetitif di era Revolusi Industri 4.0

@IndoTelko