Kominfo sudah tutup 61 ribu akun WA seminggu sebelum kerusuhan 22 Mei

JAKARTA (IndoTelko) - Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengungkapkan seminggu sebelum kerusuhan 22 Mei 2019 yang menelan korban jiwa, telah meminta WhatsApp (WA) untuk menutup 61 ribu akun yang melanggar aturan.

"Saya telah berkomunikasi dengan pimpinan WhatsApp, yang hanya dalam seminggu sebelum kerusuhan 22 Mei lalu telah menutup sekitar 61.000 akun aplikasi WhatsApp yang melanggar aturan," jelas Rudiantara dalam keterangan (27/5). (Baca: Pembatasan akses Medsos)

Diungkapkannya, sebelum dan selama pembatasan akses sebagian fitur platform media sosial dan percakapan instan berupa fitur image dan video, Kominfo telah menutup ribuan akun media sosial dan situs web. Sebanyak 551 akun facebook telah diblokir. Kemudian akun twitter 848 akun, Instagram 640 akun, Youtube 143 akun, serta masing-masing 1 untuk url website dan LinkedIn. Total ada 2184 akun dan website yang telah diblokir.

Menurutnya, semua itu perlu dilakukan agar sebaran konten hoaks, fitnah maupun provokasi dapat diminimalkan. Kominfo mengambil tiga langkah untuk menjaga media sosial dan dunia maya Indonesia agar tetap damai.

Langkah pertama adalah menutup akses tautan konten atau akun yang terindikasi menyebarkan hoaks. Kedua, bekerja sama dengan penyedia platform digital untuk menutup akun. Dan ketiga, pembatasan akses terhadap sebagian fitur platform digital atau berbagi file.

"Pembatasan akses merupakan salah satu dari alternatif-alternatif terakhir yang ditempuh seiring dengan tingkat kegentingan. Pemerintah negara-negara lain di dunia telah membuktikan efektivitasnya untuk mencegah meluasnya kerusuhan," jelas Rudiantara.

Rudiantara menjelaskan bagaimana Srilanka menutup akses ke Facebook dan WhatsApp untuk meredam dampak serangan bom gereja dan serangan anti-muslim yang mengikutinya. Sementara, Iran pernah menutup akses Facebook pada tahun 2009 setelah pengumuman kemenangan Presiden Ahmadinejad. "Banyak negara lain melakukan pembatasan dan penutupan dengan berbagai pertimbangan," tandas Rudiantara.

Sebelumnya, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyebut, pembatasan media sosial melanggar hak-hak publik di era demokrasi seperti saat ini.

"Pemerintah tidak bisa melakukan secara gegabah dan sembrono. Janganlah ingin menegakkan hukum tetapi dengan cara melanggar hukum. Bagaimanapun pemblokiran itu melanggar hak hak publik yang paling mendasar yakni mendapatkan informasi bahkan merugikan secara ekonomi," ujarnya.

Pembatasan itu secara sektoral melanggar UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta UU sektoral lainnya, dan secara general melanggar UUD 1945. Pemblokiran, bisa ditoleransi jika dalam keadaan darurat, dan parameter darurat harus jelas dan terukur. Pemerintah pun diminta harus mampu menjelaskan kepada publik manfaat dan efektivitas akses pembatasan itu.(wn)