Antiklimaks aturan pajak eCommerce

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati membuat pengumuman yang mengejutkan pada 29 Maret 2019.

Dikutip dari portal resmi Kementrian Keuuangan (Kemenkeu), Menteri yang akrab disapa SMI ini membatalkan rencana penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (eCommerce). (Baca: Pajak eCommerce)

PM 210 itu diterbitkan pada 31 Desember 2018 dan setelah masa sosialisasi rencananya akan dijalankan secara penuh pada 1 April 2019.

Aturan yang dikenal sebagai regulasi pajak untuk eCommerce ini dalam penjelasannya dinyatakan menjaga perlakuan yang setara antara perdagangan melalui sistem elektronik (eCommerce) dan perdagangan konvensional.

Dalam regulasi ini pemerintah tidak menetapkan jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku eCommerce. Dalam PMK ini disebutkan, Penyedia Platform Marketplace wajib memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan wajib dikukuhkan sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak).

Menurut aturan ini, kewajiban untuk dikukuhkan sebagai PKP juga diberlakukan kepada Penyedia Platform Marketplace, meskipun memenuhi kriteria sebagai pengusaha kecil sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai batasan pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai.

PMK ini juga menegaskan, Pedagang atau Penyedia Jasa wajib memberitahukan NPWP kepada Penyedia Platform Marketplace.

Perlawanan idEA
Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) bersuara keras menolak implementasi PMK ini. (Baca: Kerugian Pajak eCommerce)

idEA mengingatkan pihak yang paling terpukul dengan adanya aturan ini adalah pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Asosiasi ini menyatakan pemberlakuan PMK-210 bisa terlihat sebagai entry barrier (halangan), yang sama sekali tidak mempermudah perjuangan mereka dalam bertahan dan mengembangkan usaha, namun malah membebani mereka.

Kekhawatiran lain adalah perpindahan para pedagang dari marketplace ke media sosial karena adanya kewajiban pengumpulan transaksi dan NPWP jika berbisnis melalui platform itu.

Kondusif
SMI mengharapkan langkah pembatalan PMK itu  membuat masyarakat menjadi tenang, tidak lagi membuat spekulasi mengenai isu perpajakan di dunia digital. (Baca: Pungutan eCommerce)

Penarikan PMK ini dilakukan untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi yang lebih komprehensif antar Kementerian/Lembaga (K/L).  

Penarikan ini sekaligus memberikan waktu bagi Pemerintah untuk melakukan sosialisasi dan komunikasi yang lebih intensif dengan seluruh pemangku kepentingan, serta mempersiapkan infrastruktur pelaporan data eCommerce.

Diingatkannya, ditariknya PMK tersebut, perlakuan perpajakan untuk seluruh pelaku ekonomi tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Para pelaku usaha baik eCommerce maupun konvensional yang menerima penghasilan hingga Rp4,8 miliar dapat memanfaatkan skema pajak final dengan tarif 0,5% dari jumlah omzet usaha.

Antiklimaks
Banyak kalangan menilai keputusan yang diambil SMI tak bisa dipisahkan dari suasana politik yang masuk tensi tinggi jelang Pemilihan Presiden 2019 pada 17 April nanti.

Padahal, jika dilihat isi dari PMK itu sudah mengakomodasi kepentingan semua pihak dalam rangka menciptakan equal playing field. (Baca: Aturan pajak)

Langkah penarikan ini bukanlah penyelesaian yang diinginkan banyak orang dari sosok SMI yang selama ini dikenal tegas dan prudent dalam membuat sebuah keputusan.

Tanpa disadari, SMI tengah memelihara bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menjadikan Indonesia makin banyak dirugikan di era ekonomi digital.

@IndoTelko