Heboh Propaganda Russia, benarkah ada BOT dari "Beruang Merah" di lini masa?

JAKARTA (IndoTelko) - Pengguna internet (warganet) tengah heboh di lini masa terkait isu Propaganda Russia yang diapungkan oleh salah satu kandidat presiden, Joko Widodo, saat bertemu dengan pendukungnya akhir pekan lalu.

"Seperti yang saya sampaikan, teori Propaganda Rusia seperti itu. Semburkan dusta sebanyak-banyaknya, semburkan kebohongan sebanyak-banyaknya, semburkan hoaks sebanyak-banyaknya sehingga rakyat menjadi ragu. Memang teorinya seperti itu," kata Jokowi dalam potongan video yang beredar di media sosial.

Sontak warganet menjadi heboh dengan pernyataan tersebut dan menjadi perbincangan yang seru di dunia maya pada Senin (4/2).

Bagi sebagian yang percaya dengan pernyataan dari Pria yang akrab disapa Jokowi itu mengaitkan pola Propaganda Russia dengan kemenangan pasangan calon No 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di sejumlah polling online berkat penggunaan akun robot (BOT) dari negeri Beruang Merah itu.

Klarifikasi
Sadar publik menjadi riuh, Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf bergerak cepat mengklarifikasi maksud dari Jokowi terkait "Propaganda Russia" yang terasa hadir dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

TKN menegaskan pernyataan soal 'propaganda Rusia' hanyalah sebuah istilah. Karena itu TKN memastikan tidak ada hubungannya dengan intervensi negara Rusia pada proses politik di Indonesia.

"Pernyataan Pak Jokowi sebagai Calon Presiden tentang propaganda Rusia hanyalah sebuah istilah dan tidak berhubungan dengan intervensi negara Rusia pada proses politik di Indonesia," ujar Jubir TKN Ace Hasan Syadzily.

Diungkapkannya, istilah propaganda Rusia mulai populer setelah RAND Corporation menerbitkan artikel berjudul The Russian “Firehouse of Falsehood”.

Propaganda Model yang ditulis oleh Christopher Paul dan Miriam Matthews itu tercatat diterbitkan RAND tahun 2016. Artinya, istilah itu sudah mulai populer sejak 3 tahun yang lalu.

Penggunaan metode propaganda Firehose of Falsehood, ditengarai digunakan dalam berbagai proses politik elektoral di Brazil, Mexico dan terakhir juga di Venezuela. Sehingga sudah menjadi bagian dari metode perpolitikan baru di era post-truth.

Akun Twitter resmi Kedubes Rusia di Indonesia @RusEmbJakarta, menjelaskan jika istilah Propaganda Rusia sendiri direkayasa pada tahun 2016 saat pemilu presiden Amerika Serikat.

Namun Pemerintah Rusia menolak akan hal tersebut dan menyatakan mereka tak akan mencampuri urusan dalam negeri orang, termasuk Indonesia yang merupakan sahabat dekat negeri Beruang Merah.

"Kami menggarisbawahi bahwa posisi prinsipil Rusia adalah tidak campur tangan pada urusan dalam negeri dan proses-proses elektoral di negara-negara asing, termasuk Indonesia yang merupakan sahabat dekat dan mitra penting kami," tulis Kedubes Rusia dalam cuitannya.

Tak Ditemukan
Pendiri Drone Emprit Ismail Fahmi mengungkapkan selama ini tak menemukan adanya BOT asing yang ikut bermain dalam isu terkait Pilpres 2019.

"Saya malah menemukan BOT-BOT bernama Eropa, tetapi yang pakai malah pasangan nomor urut 01 sekitar Agustus lalu. Kalau sekarang BOT-BOT pakai nama lokal," katanya dalam pesan singkat ke IndoTelko, Senin (4/2).

CEO Curiosity Every Particular Object and Data (CEPOD) Achmad SW melihat isu Propaganda Russia muncul sebagai bentuk kepanikan dari pasangan nomor urut 01. "Sejauh yang kita lihat tak ada BOT dioperasikan oleh pihak-pihak asing," katanya.

Ketua Umum Indonesian Digital Empowerment Community (IDIEC) M. Tesar Sandikapura menjelaskan istilah  BOT muncul sebenarnya untuk mengantikan peran manusia dalam berinteraksi pada suatu aplikasi social media ataupun messenger, dimana kegiatan posting ataupun me-reply pesan, dapat dilakukan secara otomatis berdasarkan Algoritma kecerdasan buatan yang sudah dirancang oleh si pembuat.

"Jika BOT dikaitkan dengan postingan di linimasa pada suatu aplikasi media sosial terkait konten yang berbau politik untuk melakukan propaganda positif atau black campaign terhadap kubu tertentu, saya rasa kurang tepat," katanya.

Menurutnya, BOT yang banyak di Indonesia lebih ke arah cloning account atau fake Account. Dimana BOT ini banyak dimanfaatkan oleh tim Digital Campaign untuk memviralkan suatu konten, kepada banyak segment user tertentu secara sistematis.

Dijelaskannya, BOT hanya alat untuk penyebaran suatu konten, sebenarnya yang jauh lebih penting adalah, bagaimana membuat suatu storytelling yang mampu menggugah pembaca, agar dapat percaya, dan menganggap berita itu valid, lalu ikut  menyebarkan ke lini masa pribadinya.

"Disinilah dibutuhkan suatu kelihaian seorang konsultant digital content diperlukan. Keahlian ini tidak mesti berasal dari luar negri, bahkan seharusnya, keahlian ini sebaiknya berasal dari orang lokal yang sudah cukup paham mengenai sosiologi dan antropologi di daerah tersebut," pungkasnya.(dn)