Tarik menarik kepentingan di revisi PP PSTE

Niat Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) sepertinya tak akan mulus terjadi.

Tarik menarik kepentingan tidak hanya antara pelaku usaha dengan Kominfo, tetapi beberapa lembaga negara juga terlihat tak begitu setuju dengan isi draft revisi PP PSTE versi Kominfo yang masih ngotot ingin melakukan relaksasi lokalisasi data center.

Hal itu terlihat dari pernyataan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan HAM (Kemenko Polhukam) yang menyarankan agar penetapan revisi PP PSTE ditunda hingga April alias usai Pemilihan Presiden 2019.

Kemenkopolhukam menilai relaksasi lokalisasi data center bisa berdampak sitemik dalam kaca mata Ideologi, Politik, Sosial, Budaya, Ekonomi, serta Pertahanan dan Keamanan di era ekonomi digital karena Indonesia belum memiliki Undang-undang yang mengatur secara khusus Perlindungan Data.

Selain itu, dianggap urgensi revisi PP PSTE belum mendesak karena saat ini tengah ditata sistem keamanan siber nasional untuk membangun kedaulatan digital nasional.

Terakhir, isu lokalisasi data dari kaca mata politik, substansinya bisa jadi bahan-bahan yang tidak menguntungkan berbagai pihak.

Kemenko Polhukam mengingatkan pengesahan RPP ini bisa menjadi bumerang bagi Presiden Joko Widodo yang tengah berjuang untuk terpilih kembali. Sebab, RPP ini bisa membuat Presiden dicap sebagai 'pro asing'.

Ombudsman pun mendukung pernyataan dari Kemenkopolhukam karena urusan politik memang domain-nya Polhukam. Kominfo diharapkan tak ngotot lagi karena tugasnya membuat draft sudah selesai.

Tetap Ngotot
Hal yang menarik adalah menyimak reaksi Kominfo terhadap penolakan yang dilakukan Kemenkopolhukam.

Harap diingat, Kemenkopolhukam secara tugas dan fungsi adalah lembaga yang mengkoordinasi Kominfo.

Seperti menafikan keinginan Polhukam, Kominfo seperti masih bernafsu agar draft revisi PP PSTE tersebut disahkan Presiden.

Menkominfo Rudiantara kabarnya telah mengirimkan draft versi terbaru pada 21 Januari 2019 ke Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg).

Draft versi terbaru diklaim sudah disetujui Bank Indonesia (BI) dan (OJK).  (Baca: Drama Revisi PP PSTE)

Dalam draf RPP 82 versi terbaru kabarnya telah mengakomodir usulan dari Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) untuk memasukkan beberapa aturan. Terutama pada pasal 5 tentang siapa saja yang terdaftar dalam sistem elektonik.

Kategori yang wajib mendaftarkan sistem elektronik, pertama memiliki layanan bersifat ekonomis, kedua, mengelola data pribadi.

Kominfo sebenarnya memahami yang dipersoalkan dalam revisi PP PSTE soal lokalisasi data. Kendati demikian lokalisasi data ini memerlukan klasifikasi data untuk menentukan mana data yang bisa ditaruh di luar negeri. Pasalnya data itu sifatnya dua arah, data yang masuk dan yang keluar lintas negara.

RPP 82 versi revisi akan mengatur protokol dan memberikan ketegasan negara terkait data mana yang harus ditaruh di dalam negeri.

Di dalam aturan ini juga akan mengatur platform digital diwajibkan mendaftar. (Baca: Revisi terbaru PP PSTE)

Ada dua kriteria yang wajib mendaftar. Pertama, punya layanan bersifat ekonomis. Misalnya, produk-produknya dibeli oleh Warga Negara Indonesia (WNI), sekalipun usahanya terdaftar di luar negeri tetap harus mendaftarkan diri di Indonesia. Ini untuk kepentingan pajak, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Kedua, wajib mendaftar jika mengelola data pribadi WNI. Hal ini juga sudah diatur di UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), meski belum terlalu lengkap.

Khusus platform di bidang media sosial, Kominfo bisa mengenakan sanksi kepada mereka yang menjadi sarang hoaks dan konten negatif lainnya. Denda atas platform media sosial yang melanggar aturan tersebut bakal masuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Salah Kaprah
Melihat "konsistensi" Kominfo menggunakan klasifikasi data sebagai alasan relaksasi lokalisasi data center, wajar banyak pihak mempertanyakan kemampuan lembaga ini menjaga benteng kedaulatan digital negara.

Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) menyatakan saat negara maju mulai  mengimplementasikan perlindungan data yang ketat di negaranya seperti yang  dilakukan oleh Uni Eropa dengan aturan EU-GDPR, rencana revisi PP 82/2012 tersebut  malah berpotensi membuat 90% data di wilayah Indonesia bisa ditempatkan diluar  wilayah Indonesia tanpa ada aturan perlindungan data yang memadai.

Tentunya, relaksasi lokalisasi data menjadi kemunduran bagi negara, di saat tren dunia berebut data dan data is the new oil.

Selain merugikan dari sisi ekonomi nasional, potensi 90% data akan lari ke luar wilayah  Indonesia, tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi penegakan kedaulatan negara dan penegakan hukum. 

Sebenarnya, jika Kominfo memang ingin melakukan klasifikasi data, idealnya diterapkan dalam konteks data security untuk urusan domestik.

Sayangnya, Kominfo dalam draft revisi PP PSTE menggadaikan kedaulatan data atas nama klasifikasi yang tentunya berbeda substansi masalahnya.

Hal yang wajar banyak mendapat penolakan tidak hanya dari pelaku usaha tetapi juga berbagai lembaga negara. Entah kenapa Kominfo seperti maju tak gentar untuk urusan revisi PP PSTE ini.

@IndoTelko