"Fraud" hantui bisnis ride-hailing

JAKARTA (IndoTelko) - Tindak kecurangan (Fraud) menjadi hantu yang menakutkan bagi bisnis ride-hailing di Indonesia.

Demikian salah satu hasil survei “Consumers' Awareness" yang dikeluarkan Spire Research and Consulting terhadap 40 pengemudi dan 280 konsumen atau pengguna yang dipilih secara acak dalam skala nasional.

Bahkan, dalam studi yang dilakukan Spire Research and Consulting, fraud di kalangan pengemudi (driver) sudah menjadi rahasia umum.

Fraud menjadi isu tersendiri. Di satu sisi, fraud dapat menyebabkan kerugian bagi penyedia platform transportasi online, di sisi lain juga menjadi koreksi atas lemahnya sistem yang mereka miliki.

Spire Research and Consulting memperkirakan sebanyak 30% dari order yang diterima Go-Jek terindikasi fraud.

Angka itu cukup tinggi jika dibandingkan dengan persentase fraud Grab yang diperkirakan hanya 5%.

Angka tersebut berdasarkan estimasi jumlah order fraud dibandingkan jumlah total order yang diterima. lni merupakan masalah sistematis bagi kedua perusahaan dan terutama, permasalahan yang Go-Jek harus segera atasi.

“Perkiraan ini masuk akal karena kami juga melakukan survei terhadap para pengemudi transportasi online,” ungkap Group Deputy CEO Spire Research and Consulting Jeffrey Bahar di Jakarta, kemarin.

Diungkapkannya, pada  2018, dari para pengemudi Go-Jek yang disurvei, 60% di antaranya mengaku pernah melakukan fraud untuk meningkatkan jumlah order mereka yang akan berpengaruh pada bonus dan pendapatan harian yang diterima.

Para pengemudi Go-Jek yang pernah melakukan fraud itu mengatakan melakukannya karena menemukan celah yang dapat ditembus dalam sistem Go-Jek.

Caranya, dengan menggunakan aplikasi yang dapat memodifikasi lokasi (mod). Di sisi Iain, meski pengemudi Grab tak terbebas dari praktik fraud, namun jumlahnya lebih sedikit, yakni kurang dari 10%.

Para pengemudi Grab mengatakan ketatnya sistem keamanan di aplikasi Grab dapat mendeteksi adanya praktik nakal para pengemudi dan tegasnya sanksi yang dlberikan oleh manajemen ditengarai mampu menjadi penghalau niat para pengemudi Grab untuk melakukan tindak kecurangan. Para pengemudi juga menyatakan bahwa kedua perusahaan berusaha untuk memperbaiki sistem mereka dalam mendeteksi fraud.

Penguasa Pasar
Berdasarkan hasil survei, 75% dan 61% responden menyebutkan bahwa Grab merupakan merek (brand) yang mereka gunakan dalam 6 dan 3 bulan terakhir. Sementara itu, 62% dan 58% responden memilih menggunakan Go-Jek untuk kategori yang sama dalam 6 dan 3 bulan terakhir.

Melihat data tersebut, konsumen lebih banyak menggunakan Grab, setidaknya hingga kuartal 4/2018. Sebanyak 34% pengguna GrabCar, salah satu layanan dari Grab, menyebutkan bahwa mereka menggunakan layanan itu sebanyak 3-4 kali per minggu. Sementara itu, 25% pengguna Go-Car cenderung hanya menggunakan layanan sebanyak 1-2 kali dalam seminggu.

Di kategori roda dua, Go-Ride masih menjadi pilihan utama pengguna transportasi online. Dari total responden yang memilih Go-Ride, sebanyak 64% menggunakannya hingga 1-2 kali sehari, sedangkan pemilih GrabBike yang menggunakan 1-2 kali daIam sehari ada 58%.

Untuk layanan online food delivery, Go-Food masih memimpin. Sebanyak 35% responden menyebutkan bahwa Go-Food merupakan layanan yang paling sering mereka gunakan. Sementara 27% responden menyatakan memilih GrabFood.

Tumbuhnya permintaan online food delivery tak lepas dari gencarnya promosi yang dilakukan oleh para penyedia platform pembayaran. Merujuk pada hasil survei, rupanya OVO, aplikasi pembayaran yang digandeng Grab, unggul dalam pembayaran online to offline (020), seperti untuk membeli pulsa dan pembayaran di gerai-gerai non-makanan.

Berbeda dengan OVO, Go-Pay, platform pembayaran milik Go-Jek, lebih sering digunakan di pembayaran kedai-kedai makanan-minuman (Go-Food) dan untuk membayar tagihan Iistrik melalui aplikasi Go-Jek.(id)