Mengawasi suhu tinggi "Medsos" selama Pilpres 2019

Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kala Rapat Pleno di KPU.(Foto:KPU.go.id)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah selesai menggelar Rapat Pleno Terbuka Pengundian dan Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon (paslon) Presiden dan Wakil Presiden (capres-cawapres) Pemilu 2019 pada Jumat (21/9).

Rapat Pleno Terbuka menghasilkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin mendapat nomor urut 01 sementara pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memperoleh nomor urut 02.
 
Usai penetapan nomor urut, KPU langsung melakukan deklarasi pemilu damai di silang Monas, Minggu, (23/9). Ini menandakan masa kampanye Pemilu dan Pilpres 2019 resmi dimulai pada Minggu (23/9) dan akan berakhir pada 13 April 2019.

Deklarasi Kampanye Damai yang diselenggarakan oleh KPU dinilai sebagai langkah tepat di tengah kegaduhan politik jelang pilpres terutama di media sosial (Medsos).
 
Medsos wajar menjadi perhatian di era Pemilu 2.0 sejak semakin intensif perannya sebagai medium opini publik.

Sejak datangnya medsos, medan politik tak lagi sama. Tokoh dan partai akan berjaya jika mampu memaksimalkan medsos.

Laporan yang dikeluarkan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada November 2017 memang memperlihatkan kian dominannya media sosial dalam mempengaruhi pilihan politik terutama di kalangan milenial.

Laporan itu menyatakan generasi milenial sudah "melek' dengan kondisi politik nasional. Sumber informasi yang diandalkannya adalah media online dan televisi. (Baca: Pemilu 2.0)

Tingkat kepemilikan akun media sosial juga lumayan tinggi di milenial. Paling tinggi adalah Facebook, WhatsApp, BBM, Instagram, dan Twitter.

Berdasarkan penelitian, 3,3 juta informasi masuk lewat twitter, informasi lewat WA sekitar 20-an juta.

Bayangkan, tahun lalu jumlah pengguna internet 130 juta orang. Dalam kurun waktu setahun jumlahnya meningkat menjadi 143 juta jiwa dan sebanyak 65% digunakan oleh anak dan remaja dengan durasi 8 sampai 11 jam dalam sehari.

Ini mengakibatkan pola komunikasi yang dilakukan masyarakat telah berubah menjadi pola 10 to 90.

Sejumlah 10%  masyarakat aktif membuat konten di media sosial sedangkan 90% bertugas menyebarkan informasi tersebut.

Melihat hal ini tentu saja menjadi wajar "menguasai" media sosial menjadi salah satu langkah strategis bagi para kandidat memenangkan pertarungan.

Dominasi Hoaks
Sayangnya, jika merujuk data yang dipaparkan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Medsos juga menyimpan bom waktu "kerusakan" bagi demokrasi di dunia maya. (Baca: Dominasi Hoaks)

Kominfo menyatakan validitas informasi harus dikritisi karena yang beredar di dunia maya sebanyak 92,40% berbagai kabar yang ada adalah hoax serta konten kebencian.

Data ini tentu harus membuat netizen lebih waspada dalam menerima dan mengolah informasi karena sebanyak 4 dari 10 masyarakat Indonesia aktif di medsos.

Hal yang harus diperhatikan ditengah kontestasi politik yang mulai meninggi yaitu tak terjebak dalam praktik Digital Vigilantism.

Mengutip Peneliti komunikasi Daniel Trottier, digital vigilantism adalah istilah bagi sekelompok warga negara dibuat tersinggung oleh aktivitas warga lainnya untuk kemudian membalas secara terkoordinasi menggunakan perangkat seluler dan platform media sosial.

Cara vigilante di media sosial adalah dengan menyebarkan informasi personal, termasuk pengumbaran jenis pelanggaran si target ke berbagai platform mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, hingga WhatsApp Group.

Praktik vigilante dimediasi oleh aspek “sosial” dalam media sosial yang menghubungkan antara ruang personal dan sosial sehingga memungkinkan terjadinya intervensi kehidupan pribadi oleh sesama warganet.

Praktik vigilante ini bisa berkembang sebagai saling respon atas penyebaran ujaran kebencian. Bahkan, persekusi digital ini bisa berubah menjadi persekusi di dunia nyata yang rentan konflik sosial.

Disinilah kita berharap negara memberikan rasa aman terhadap semua warga negara. Aparat hukum sudah dibekali aturan yang cukup untuk mengambil tindakan bagi mereka yang melanggar.

Hukum harus ditegakkan tanpa ada tebang pilih agar Pemilu dan Pilpres menghasilkan pemimpin yang berkualitas bagi Indonesia yang adil dan sejahtera di era demokrasi 2.0

@IndoTelko