Melawan agitasi terorisme di dunia maya

Masyarakat tengah mengakses media sosial. Ratusan juta akun media sosial berpotensi terpapar propaganda terorisme.(dok)

Serangkaian aksi terorisme yang terjadi di Indonesia jelang bulan Ramadan benar-benar membuat masyarakat Indonesia gundah.

Dimulai dengan aksi bom bunuh diri yang terjadi di tiga gereja di Surabaya pada  Minggu (13/05). Dilanjutkan meledaknya bom di Rusun Wonocolo Sidoarjo, dan aksi penyerangan ke Polda Riau membuat publik tersadar bahwa terorisme adalah musuh dalam selimut yang harus diwaspadai di Indonesia.

Aparat penegak hukum telah menunjukkan kesigapan dengan melakukan serangkaian penangkapan dan masih memburu beberapa  terduga teroris agar peristiwa tak terulang.

Fakta yang mengejutkan pun dibuka oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tentang pemanfaatan media sosial (Medsos) untuk melakukan agitasi dan propaganda oleh kelompok radikalisme dan terorisme.

Kominfo menyatakan sejak bom pertama kali meledak di Surabaya pada 13 Mei 2018, ada 1.285 akun medsos yang diblokir karena terindikasi menyebar virus radikalisme atau kebencian.

Kominfo mengaku memaksimalkan kerja mesin pengais (crawling) konten negatif dimana setiap dua jam sekali mencari konten-konten berkaitan dengan radikalisme dan terorisme. (Baca: Agitasi di Medsos)

Kominfo juga menggandeng penyelenggara platform internet (aplikasi media sosial, messenger, chatting) sepeti Facebook, Twitter, dan lainnya untuk aktif mengawasi serta menurunkan konten negatif.

Salah satu konten yang menjadi perhatian Kominfo adalah buletin digital Al Fatihin yang disebar melalui berbagai platform medsos.

Buletin berbahasa Indonesia yang diklaim diterbitkan dari Daulah Islamiyah dalam versi digital itu pada edisi ke-10 mengangkat cerita tentang pengeboman yang terjadi di Surabaya.

Menkominfo, Rudiantara mengungkapkan puluhan buletin Al Fatihin dalam berbagai versi yang beredar di dunia maya telah diproses untuk diblokir.

Konten buletin tersebut paling banyak tersebar melalui aplikasi instant messenger, video file sharing, dan juga lewat situs.

Jika merujuk kepada hasil penelitian Brooklyn Institute pada tiga tahun lalu, medsos memang banyak digunakan Kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) untuk menyebarkan propagandanya.

ISIS kabarnya telah menggunakan 46 ribu akun media sosial Twitter dalam lima bahasa guna menyebarkan ideologinya. ISIS beberapa tahun lalu pernah mengklaim lebih dari 10 ribu akun Facebook menjadi pengikut atau simpatisannya. Kelompok ini bahkan memiliki ahli media sosial untuk mengkoordinasi jaringan akum media sosial dari berbagai platform.

Perusahaan keamanan internet Flashpoint dalam laporan terbarunya menemukan lebih dari 400 ribu laman dan kanal terkait materi propaganda ISIS. Penyebaran materi tentunya memanfaatkan multiplatform yang sudah dikenal oleh pengguna internet.

Melihat fenomena ini rasanya wajar saja Kominfo menyatakan di Indonesia, ada 143 juta pengguna medsos yang sangat berpotensi terkena virus radikalisme dan terorisme.

Pencegahan
Menyadari bahayanya pola penyebaran propaganda terorisme memanfaatkan medsos, membuat pemerintah bereaksi lebih keras.

Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah mengeluarkan aturan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam bermedsos. (Baca: Aturan ASN)

BKN melayangkan imbauan bagi Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) Instansi Pusat dan Daerah untuk melarang ASN di lingkungannya menyampaikan dan menyebarkan berita berisi ujaran kebencian perihal SARA, serta mengarahkan ASN agar tetap menjaga integritas, loyalitas, dan berpegang pada empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Aparat penegak hukum pun sepertinya ingin memberikan "efek kejut" bagi warganet dengan melakukan penindakan bagi mereka yang membuat "postingan" terkait terorisme.

Hal itu terlihat dari aksi Direktorat Krimsus Subdit Cybercrime Polda Sumut dengan menangkap oknum PNS yang bekerja sebagai dosen Ilmu Perpustakaan di Universitas Sumatera Utara (USU) pada Sabtu (19/5).

Wanita ini ditangkap karena salah satu postingan di akun Facebook-nya diduga menyampaikan ujaran kebencian. Dalam postingannya dinyatakan kalau 3 bom gereja di Surabaya hanyalah pengalihan isu.

Tak hanya dosen, Pilot berinisial OGT dari maskapai nasional Garuda Indonesia  yang diduga mengeluarkan postingan terkait pemberitaan tertentu di Medsos mengenai terorisme telah digrounded (dilarang terbang) sejak Jumat (18/5) lalu.

Pilot berinisial OGT itu sebelumnya ramai diperbincangkan di media sosial. Ia diduga membagikan ulang sebuah status yang menyebut peristiwa bom di Surabaya adalah rekayasa. (Baca: Pilot Garuda)

Bahkan, operator Telkomsel pun terpaksa merevisi daftar penceramah yang diundang untuk "Semarak Ramadhan 1439 H" karena menjadi perdebatan di kalangan warganet.

Hati-hati
Tiga kasus di atas yang ramai di dunia maya tak bisa dilepaskan dari partisipasi aktif dari warganet dalam mencari konten negatif dan melaporkannya ke pihak aparat penegak hukum.

Tingginya animo warganet dalam mengawal peredaran konten negatif ini tentu harus diapresiasi sebagai bentuk kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Namun, harus diwaspadai juga dalam melawan konten negatif ini tak menjadi kebablasan sehingga menerobos batas-batas hak asasi manusia (HAM) dan data pribadi.

Perdebatan terhadap semua "temuan" konten negatif bisa kencang di publik dan berujung kepada konflik horizontal jika "subyektifitas" diutamakan.

Hal lainnya, cara mendapatkan "temuan" jika "menerabas" perlindungan data pribadi serta malah menjurus persekusi digital bukankah ini namanya melawan hukum?

Lebih dikhawatirkan tentu ini menimbulkan benih-benih dendam bagi pihak yang dipersekusi.

Harap diingat, setiap postingan di medsos tak bisa hanya dilihat secara sepotong-potong kontennya.

Benang tipis antara beropini "berseberangan" dengan penguasa dan mereka yang sudah terkena paham radikal tentu butuh pendalaman tanpa harus melewati proses persekusi digital terlebih dulu.
 
Pemerintah sebaiknya tak hanya mengandalkan "partisipasi" publik dalam melawan konten negatif di medsos.

Pemanfaatan Big Data maupun data science dapat membantu memahami perilaku terduga aksi terorisme.

Di antaranya, sebagai alat bantu untuk mengidentifikasi, melacak, dan menghindari ancaman terorisme. Di sejumlah negara maju, teknologi ini sudah mulai banyak diaplikasikan oleh pemerintah, militer, maupun badan intelijen.

Data yang dikumpulkan seputar terduga teroris dapat mengungkap latar belakang dan motivasi aksi mereka. Bahkan, data tersebut dapat mengungkap tentang jaringan mereka, siapa saja informannya, siapa saja yang mendanai mereka, dan lain sebagainya.

Raksasa medsos seperti Facebook mungkin bisa dicontoh dengan mengembangkan sebuah teknologi analisis teks untuk mendeteksi kata-kata yang mungkin mengandung unsur propaganda teroris.

Teknologi lainnya yang dapat digunakan adalah image recognition, computer vision, bahkan biometrics mining.(Baca: Teknologi melawan terorisme)

Kita semua sepakat terorisme dan radikalisme adalah musuh NKRI, tetapi jika melawannya dengan seperti "melupakan" hukum dan sendi-sendi bernegara, tentu bukan hal yang diharapkan semua pihak.

Saatnya pemerintah menjaga koridor "Perlawanan" aksi terorisme di dunia maya agar "akar rumput" tidak makin terfragmentasi di tahun politik ini.

@IndoTelko