Mengenal virtual currency

Bank Indonesia (BI) belum lama ini mengeluarkan pengumuman terkait peringatan kepada seluruh pihak akan risiko virtual currency. (Baca: BI larang virtual currency)

Kami dari Blockchain Nusantara merasa perlu untuk memberikan penjelasan dan pelurusan lebih lanjut agar tidak terjadi kesalahpahaman, terutama terkait teknologi yang ada di dalam mata uang kripto.

Virtual Currency
Pertama-tama, istilah virtual currency yang digunakan dalam BI dirasa terlalu luas. Virtual currency dapat diterjemahkan secara bebas sebagai “mata uang maya” dalam hal ini mata uang digital.

Masyarakat telah mengenal mata uang digital sejak era ATM, di mana saldo dana yang disimpan di dalam bank dinyatakan dalam angka-angka komputer.

Istilah mata uang digital juga semestinya mencakup area e-money (uang digital) yang kini marak menjadi produk teknologi finansial (resmi dan sah) di Indonesia, misalnya untuk mempercepat pembayaran ongkos masuk tol.

E-money dikeluarkan oleh pihak yang berkepentingan (misalnya perbankan dan perusahaan teknologi finansial yang terdaftar) non-otoritas moneter, dan dikontrol oleh pihak yang menyediakan e-money tersebut.

Mata Uang Kripto
Mata uang kripto, terjemahan bebas dari istilah aslinya, cryptocurrency, akan digunakan dalam dokumen ini untuk merujuk pada jenis mata uang swasta yang diawali dengan kemunculan Bitcoin pada tahun 2009, berdasarkan dokumen teknis (whitepaper) yang ditulis oleh Satoshi Nakamoto di tahun 2008.

Sejak pertama kali mata uang kripto diciptakan hingga 9 tahun berselang, teknologi ini telah mengalami perkembangan yang amat pesat.

Perbedaan mendasar mata uang kripto dengan mata uang virtual lainnya secara teknologi adalah penggunaan teknik kriptografi yang amat masif.

Dalam mata uang kripto, verifikasi kepemilikan dana dilakukan dengan menggunakan tanda tangan digital, sementara bukti kepemilikan dana dilakukan dengan menggunakan metode kriptografi kunci publik. Hal ini sangat berbeda dibandingkan mata uang virtual yang melekat pada identitas pengguna (misalnya PIN, nama pengguna, dan kata kunci) ataupun akun tertentu yang diakses menggunakan peralatan fisik (misalnya kartu e-money).

Mata uang kripto ada yang dikendalikan secara penuh oleh sekelompok pengembang (misalnya Ripple dan Tether), namun mayoritas mata uang kripto berjalan dengan sistem desentralisasi (demokrasi), di mana pengembang tidak memiliki kontrol atas jalannya sistem, melainkan para pihak yang berkepentingan di dalam sistem tersebut, di antaranya para penambang (miner) dan pemilik bisnis.

Segala perubahan yang akan diterapkan di dalam mata uang kripto tersebut harus melalui persetujuan mayoritas pemangku kepentingan.

Jenis
Menurut Coinmarketcap.com, memang jumlah mata uang kripto ada di kisaran 1300 jenis, namun jumlah ini belum termasuk mata uang kripto yang telah mati (salah satu daftar mata uang kripto mati dapat dilihat di Deadcoins.com) dan mata uang kripto yang belum terdaftar di Coinmarketcap.com.

Penilaian mata uang kripto berdasarkan kapitalisasi pasar merupakan sebuah langkah yang keliru. Besarnya angka yang terlihat di dalam kapitalisasi pasar tidak menunjukkan jumlah dana masyarakat yang terserap dalam mata uang kripto tersebut.

Untuk menembus 10 besar dalam daftar Coinmarketcap.com, seorang pengembang mata uang kripto baru hanya perlu membuat sistem tersebut memuat koin sebanyak 10 miliar koin dan menjual sebuah koin kepada orang lain dengan harga US$1 (tidak perlu semuanya terjual sekaligus). Maka dengan mudahnya mata uang kripto tersebut akan memiliki valuasi pasar sebesar US$10miliar.

Risiko
Menyebut mata uang kripto memiliki kenaikan tidak wajar sepertinya kurang tepat. Media investasi lain seperti properti memiliki lonjakan harga yang amat tinggi hingga tidak lagi terbeli oleh masyarakat.

Risiko penggelembungan (bubble) yang disebutkan dalam dokumen tersebut tidak eksklusif melekat pada mata uang kripto, sebab semua instrumen investasi seperti properti juga memiliki risiko serupa.

Di Amerika Serikat penggelembungan instrumen investasi properti menyebabkan krisis di awal tahun 2006 yang memuncak pada krisis subprime mortgage pada bulan Agustus 2008.

Mata uang kripto disebut memiliki fitur transaksi pseudonymous (semi-anonim) yang dapat digunakan sebagai media tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Bitcoin, sebagaimana disebutkan dalam dokumen milik Satoshi Nakamoto, merupakan alat pembayaran yang anonim, di mana pengguna tidak perlu menggunakan identitas asli untuk dapat mempergunakan dana yang dimilikinya.

Namun berbagai riset menyebutkan sebaliknya. Informasi yang tersedia dapat ditelusuri untuk mengetahui karakteristik pengguna dan jenis-jenis transaksi yang terjadi dengan menggunakan Bitcoin.

Selain itu, analisis kuantitatif pernah dilakukan untuk mengetahui pola transaksi yang dilakukan oleh pihak tertentu dengan menggunakan Bitcoin.

Dengan fitur transaksi semi-anonim, tentunya para pelaku aktivitas yang tidak sah akan berpikir ulang untuk menjalankan aksinya dengan menggunakan mata uang kripto, sebab dengan teknik dan metode tertentu, identitas dan aktivitas mereka akan terkuak.

Kerentanan terhadap serangan cyber tidak hanya dialami semua pihak yang menyediakan layanan mata uang kripto, melainkan juga perbankan dan semua sistem yang terhubung dengan Internet Peristiwa pembobolan Bank Bangladesh, dengan total kerugian mencapai US$81 juta menjadi bukti sahih bahwa serangan cyber dapat dialami oleh siapapun.

Kesimpulan
Diperlukan kompetensi yang baik saat memberikan analisis mendalam dari sisi teknologi mata uang kripto yang memang amat rumit dan kompleks. Kemajuan teknologi harus disikapi dengan cara positif, dikembangkan ke arah pembaharuan yang sesuai dengan kebijakan negara dalam hal keuangan dan ekonomi.

Saat ini teknologi Blockchain telah mulai dieksplorasi oleh bank sentral di beberapa negara seperti Estonia, Lebanon dan Swedia.

Bukan mustahil, di masa depan kita akan melihat konsep dan teknologi mata uang kripto diadopsi secara massal oleh bank sentral negara-negara di dunia.(*)

Ditulis oleh Tim BlockChain Nusantara (bcnusantara.id)