Pisau tumpul untuk sensor konten LGBT

Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) di penghujung Januari 2018 membawa kabar gembira ke warganet.

Kegelisahan warganet terhadap maraknya aplikasi berbau Lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT) di toko aplikasi Playstore milik Google dijawab Kominfo dengan mengumumkan telah menurunkan platform Blued  per 28 Januari 2018 dari toko virtual itu.

"Kami umumkan ke teman-teman aplikasi Blued sudah tak bisa diakses lagi jika melalui Playstore di Indonesia. Google sudah take down 3 Domain Name System (DNS) dari 3 aplikasi Blued yang di-take down untuk Indonesia," ungkap PLT Kepala Humas Kominfo Noor Iza di Jakarta, Senin (29/1).

Proses penurunan aplikasi Blued dari Playstore berdasarkan pengumpulan bukti dari Kominfo terkait adanya konten-konten yang tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial budaya di Indonesia di aplikasi itu yang meresahkan masyarakat.

"Kita kumpulkan bukti sesuai dengan aturan main di Google. Mereka verifikasi, lalu di-take down (Blued). Selain itu pada 25 Januari 2018 juga telah dihentikan sebanyak tiga IP address dari situs dan aplikasi Blued," katanya. (Baca: Blokir Blued).

Terungkap, pada 15 Januari 2018, Kominfo telah melakukan beberapa tindakan, yakni mengirimkan permintaan kepada Google untuk melakukan takedown (penghentian) 73 aplikasi berkenaan dengan LGBT dari Google Play Store, melakukan pemblokiran 15 DNS dari 15 Aplikasi LGBT yang ada pada Google Play Store, dan mengajukan kepada Facebook terhadap 1 grup LGBT yang meresahkan masyarakat untuk dilakukan suspend.

"Selama Januari 2018 ini, dari hasil penelusuran dan pengaduan masyarakat sejumlah 169 situs LGBT yang bermuatan asusila dilakukan pemblokiran. Disamping itu, juga terdapat 72.407 konten asusila pornografi telah dilakukan penanganan dalam kurun Januari lalu.

Belum Maksimal
Sayangnya, keberhasilan Kominfo dalam menurunkan Blued di Playstore tak terjadi di toko aplikasi milik Apple, App Store. Kala media menunjukkan Blued bisa diakses melalui perangkat iPhone, Noor terlihat kaget dan bingung.  

"Harusnya itu gak ada lagi ya, kan sistem operasi ada dua. Seharusnya surat sudah dikirim (ke Apple). Tetapi nanti kita cek," kilahnya.

Dalam pantauan IndoTelko, hingga artikel ini diturunkan (4/2) siang, Blued masih tersedia di App Store.

Tak hanya itu, aplikasi lainnya berbau LGBT yang disorot Aparat Penegak Hukum (APH) sejak 2016 lalu ternyata masih ada di Playstore.

Seperti diketahui Bareskrim Polri pada 2016 lalu menemukan belasan aplikasi gay yang meresahkan masyarakat. Aplikasi itu diantaranya,  Grindr, JAck'd, Hornet, BoyAhoy, Blued, Romeo,VGL,GROWLr, GayPark, Adam4Adam, Guyz, Scruff, Gay Dating, Surge, Gaydar, Krave, Gay Times, Gay Cities, dan Maleforce.

Menkominfo Rudiantara pada 2016 berjanji akan membersihkan belasan aplikasi itu dari jagad maya Indonesia jika memang meresahkan. Kenyataan, ternyata berkata lain. "Pisau sensor" yang dimiliki Kominfo tak mampu menyakinkan Google untuk menurunkan belasan aplikasi LGBT ini hingga sekarang.

Fenomena ini seperti menyadarkan, sudahkah Indonesia memiliki kedaulatan di ranah digital?

Harap diingat, ada beberapa isu mengenai kedaulatan internet, yaitu keamanan cyber, privasi digital, regulasi, system esteem dan respect.

Dalam kasus "sensor" terhadap aplikasi LGBT terlihat daya tawar Indonesia yang dalam hal ini diwakili Kominfo agak "lemah" terhadap pemilik platfrom Playstore (Google dan Apple).

Publik malah menilai, Kominfo "dipaksa" mengikuti "aturan main" yang ada di Playstore dengan menyuruh mengumpulkan bukti atas "kesalahan" Blued versi Indonesia sebelum dilakukan pemblokiran untuk dunia maya tanah air. (Baca: Blued di App Store)

Bandingkan dengan yang terjadi pada aplikasi perpesanan karya anak bangsa, Catfiz messenger ditegur oleh Pemerintah Jerman. (Baca: Blokir Blued)

Dalam surat teguran yang dikirimkan langsung ke Kantor Catfiz messenger di Surabaya itu Pemerintah Jerman meminta Catfiz mendaftarkan perusahaannya. Ini karena, Pemerintah Jerman mengkhawatirkan adanya gangguan di negaranya. (Baca: Jerman tegur Catfiz)

Terlihat, dalam dua kondisi itu negara mana yang memiliki kedaulatan dan "in control" terhadap konten yang beredar di negaranya.

Belajar dari kasus sensor "setengah hati" terhadap Blued ini, sudah saatnya pemerintah menata kembali aturan main terhadap Over The Top (OTT) agar Indonesia benar-benar dihargai di era digital

@IndoTelko