Marketplace jadi galau dijadikan agen penyetor pajak

Pengurus idEA kala memaparkan isu agen penyetor pajak (dok)

JAKARTA (IndoTelko) - Wacana dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengeluarkan Rancangan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Perpajakan Pelaku Usaha Perdagangan Berbasis Elektronik (RPMK Pajak e-Commerce) menjadikan pelaku bisnis marketplace menjadi galau.

Kabarnya, di RPMK itu pemain marketplace akan dijadikan sebagai Agen Penyetor Pajak. (Baca: pajak eCommerce)

"Kami tidak dalam posisi menolak RPMK Pajak e-Commerce ini, tetapi kami keberatan jika menjadi Agen Penyetor Pajak. Kita harapkan draft dari RPMK itu dikonsultasi publik dulu sebelum disahkan. Soalnya selama ini yang disampaikan ke kami baru berupa sosialisasi konsep dan bukan berupa naskah draft PMK," pinta Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Aulia E Marinto dalam jumpa pers, Selasa (30/1).

Dijelaskannya, secara prinsip tak keberatan tarif PPH final sebesar 0,5% bagi pelaju usaha yang memiliki peredaran usaha kotor samapai dengan Rp 4,8 miliar setahun. "Tetapi saya mau ingatkan ini mitra marketplace umumnya UKM dan belum Perusahaan Kena Pajak (PKP). Jika marketplace dijadikan Agen Penyetor Pajak, itu bisa berdampak ke mereka," katanya. (Baca: Pajak)

Ketua Bidang Pajak Cybersecurity Infrastruktur idEA Bima Laga memberikan ilustrasi jika marketplace yang selama ini bentuk model kanal transaksi atas beragam jenis kanal lainnya sebagai Agen Penyetor Pajak.

"Ada transaksi dari seller di marketplace X senilai Rp 1000. Jika dia bukan PKP, artinya kita potong dulu PPH 0,5%. Nah terus kita laporkan dan hitung. Ini ada resiko, kalau ada retur dan sebagainya? Marketplace yang nanggung semua. Kalau marketplace sebagai korporasi tak ada isu soal pajak, ini seller yang UKM kasian,"tukasnya.

Bima mengingatkan jika PMK tersebut dipaksakan keluar pada 1 Februari mendatang tanpa ada konsultasi publik, bisa membuat para merchant yang umumnya UKM atau pribadi dimana selama ini sudah susah payah diajak bergabung ke marketplace berpindah ke platform media sosial seperti Facebook atau Instagram.

"Survei kami 43% itu penjual banyak manfaatkan Facebook. Sementara media sosial seperti ini tak ada kewajiban sebagai agen penyetor pajak oleh PMK itu. Atau bisa saja mereka pindah jualan ke platform marketplace milik luar negeri. Kalau gini growth dari bisnis eCommerce bisa terguncang," katanya.

Ketua Bidang Hukum idEA Sari Kacaribu mengatakan marketplace selama ini membangun ekosistem eCommerce dengan menyediakan kanal penjualan, logistik, hingga pembayaran.

"Kalau ditambah menjadi agen penyetor pajak, itu kita ada keluar biaya compliance tambahan, membangun infrastruktur teknologinya, dan lainnya. Sementara ada yang sama dengan marketplace sebagai kanal pemasaran (media sosial) kok gak diperlakukan sama," keluhnya.

Diingatkannya, sebenarnya marketplace sudah membantu pemerintah secara tidak langsung dalam meningkatkan potensi pembayar pajak karena mereka yang selama ini bermain di offline atau media sosial lebih terdata di marketplace. "Kita sudah bangun ekosistem, sekarang ditambahin lagi beban," sungutnya.

Sementara Akademisi dan Ahli Perpajakan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Inayati mengakui kebijakan pemerintah yang mewajibkan model marketplace menjadi agen penyetor pajak memiliki implikasi meningkatkan compliance cost atau biaya kepatuhan.

"Karena kebijakan ini akan menempatkan marketplace pada posisi dibebani kewajiban untuk memotong, menyetor, dan melaporkan PPh final. Peningkatan biaya kepatuhan perlu mendapat perhatian pemerintah karena dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak (tax compliance). Biaya kepatuhan menjadi relatif signifikan karena untuk melaksanakan kewajiban tersebut marketplace harus menyiapkan sejumlah infrastruktur dan biaya tambahan," katanya.

Sebelumnya, pemerintah akan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final untuk pebisnis Usaha Kecil Menengah (UKM) menjadi 0,5% dari omzet dengan mengubah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013. Pemerintah juga akan menurunkan batasan (threshold) dari status Pengusaha Kena Pajak (PKP).  Saat ini, batasan omzet pengusaha kecil yang wajib dikukuhkan sebagai PKP sebesar Rp 4,8 miliar setahun.

Di PP No. 46/2013, wajib pajak, orang pribadi atau badan usaha tidak tetap yang memiliki omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun dapat membayar PPh dengan tarif sebesar 1% dari omzet yang diterima.

Pada April tahun lalu total wajib pajak yang terdaftar mencapai 36 juta lebih, tapi wajib pajak orang pribadi non karyawan tak sampai 1 juta wajib pajak. Pemerintah memandan rencana pemangkasan tarif ini akan menciptakan keadilan tapi bisa meningkatkan penerimaan negara terutama dari pelaku usaha mitra marketplace eCommerce.(dn)