Kontroversi RPM Jastel

Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membuat panas suasana industri Halo-halo nasional jelang penutupan 2017.

Kementrian dibawah komando Menkominfo Rudiantara ini ingin menyederhanakan lisensi bagi pemain Jasa Telekomunikasi (Jastel) melalui revisi Keputusan Menteri (KM) 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menjelaskan langkah yang diambilnya sudah sesuai dengan perubahan dan dinamika industri telekomunikasi di "Jaman Now".

"Anda tahu isi Undang-undang No 36 Tahun 99 tentang Telekomunikasi? Isinya itu semua perijinan. Jaman Now mana bisa semua ijin-ijin, industri butuh kemudahan dalam berbisnis, bukan tumpukan perijinan," tegas Pria yang akrab disapa RA itu beberapa waktu lalu.

Dirjen Penyelanggara Pos dan Informatika Kominfo Ahmad M. Ramli menyatakan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Jastel sangat progresif karena ingin menyederhanakan 16 Peraturan Menteri (PM) menjadi 1 RPM terkait Jasa Telekomunikasi. Selain itu juga menyederhanakan 12 jenis izin menjadi hanya satu izin.

Singkatnya semua jenis jasa keluaran izinnya cukup satu saja yaitu izin jasa telekomunikasi. Pemegang izin ini kemudian bisa memberikan komitmen dalam dua bentuk yakni berbasis jenis layanan dalam jasa telekomunikasi (Pada gambar di sebelah kanan) dan wilayah (kab/kota) cakupan layanan.

Kontroversi
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) salah satu organisasi yang terang-terangan mempermasalahkan dua pasal di RPM ini.

Organisasi ini menolak Pasal 13 ayat 3, dan Pasal 31 ayat 3 dalam RPM tersebut.

Dalam pasal 13 ayat 3 disebutkan, Penyelenggara Jastel harus melakukan keterhubungan dengan simpul jasa (node) milik Penyelenggara Jastel yang menyelenggarakan Layanan Gerbang Akses Internet di Kota/Kabupaten terdekat dengan lokasi perangkat Telekomunikasi dimaksud.

Sementara itu, dalam Pasal 31 ayat 3 disebutkan, Penyelenggara Jastel yang menyelenggarakan Internet Service Provider (ISP) dilarang menyelenggarakan layanan akses di luar cakupan wilayah layanannya.

Kedua pasal dianggap menyusahkan Penyelenggara Jastel dalam hal cakupan layanan. Kominfo sepakat menghapus dua pasal tersebut sehingga APJII merestui pengesahan RPM Jastel.

APJII merestui, penolakan masih terjadi dari Federasi Serikat Pekerja (FSP) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Strategis. Di kacamata FSP BUMN Strategis ada pasal-pasal yang seolah-olah membuat operator telekomunikasi tidak terdorong membangun di daerah. Ada juga pasal-pasal yang sifatnya dinilai memberi peluang kepada pemain asing dan merugikan operator lokal.

"Tampaknya Menteri Kominfo Rudiantara mengupayakan “jalan melingkar” setelah Revisi terhadap PP Nomor 52 Tahun 2000 dan PP Nomor 53 Tahun 2000 tidak disetujui Presiden. Trik yang ditempuh adalah  dengan cara mengubahnya menjadi Peraturan Menteri, karena dengan hanya mengubah Peraturan Menteri tidak perlu persetujuan Presiden," duga Ketua Umum FSP BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto.

Pasal-pasal yang menjadi sorotan dari organisasi itu antara lain Pasal 10 (c) dan Pasal 11 ayat 4 (a). Pada pasal 10 (c) disebutkan, Penyelenggara Jastel berhak mendapatkan perlakuan yang sama dalam penetapan tarif sewa jaringan yang ditetapkan oleh Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi terhadap Penyelenggara Jastel lain.

Contoh kasusnya dalam penetapan biaya sewa jaringan di luar daerah. Jika Telkomsel menggunakan jaringan Telkom dengan bayaran lebih murah, maka operator lain berhak diberikan harga yang sama. Hal ini yang dikatakan tak mendorong operator lain membangun jaringan di daerah.

Sementara itu dalam Pasal 11 ayat 4 (a) disebutkan, Penyelenggara Jastel yang juga Penyelenggara Jaringan harus membuat pernyataan tertulis terkait penggunaan Jaringan Telekomunikasi miliknya sendiri yang paling sedikit memuat informasi terkait biaya dan kapasitas sewa Jaringan Telekomunikasi.

Pasal tersebut dianggap melewati zona privasi bisnis Penyelenggara Jastel yang juga merupakan Penyelenggara Jaringan. Kabarnya, pasal-pasal tersebut pun telah didiskusikan dan disesuaikan sedemikian rupa sehingga tak memberatkan semua pihak.

Sementara Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB (PIKERTI-ITB) melihat ada sejumlah pasal yang bertentangan dengan aturan di atasnya seperti PP No 52 dan 53 Tahun 2000.

Misalnya, Pasal 1 dari RPM Jastel berbunyi:
Penyelenggaraan Jasa Teleponi Dasar adalah Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi yang menyediakan layanan teleponi dasar dengan menggunakan teknologi circuit switched atau teknologi lainnya.

Dalam kacamata PIKERTI ITB, penambahan atau teknologi lainnya tidak sesuai dengan PP 52 tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi yang menyatakan bahwa Jasa Telepn Dasar (Jaspondas) hanya circuit switched teknologinya. Hal ini akan membuka peluang penyelenggara Jasa yang bukan penyelenggara jaringan menyelenggarakan Jaspondas

Pasal 4 dari RPM Jastel berbunyi: Kategori Penyelenggaraan Jasa Teleponi Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a terdiri atas: Karena ada penambahan teknologi lain untuk penyelenggara jasa teleponi dasar, maka perlu diklarifikasi a. layanan teleponi dasar melalui Jaringan Telekomunikasi; dan/atau teknologi lainnya

Menurut PIKERTI-ITB, karena ada penambahan teknologi lain untuk penyelenggara jasa teleponi dasar, maka perlu diklarifikasi apakah penyelenggara jasa teleponi dasar hanya dikhususkan kepada Penyelenggara Jaringan selurler dan Jaringan Tetap atau juga bisa diselenggarakan oleh Penyelenggara Packet switched / OTT yang menyelenggarakan Jasa teleponi dasar.

Pasal 10 dari RPM Jastel: Dalam menyelenggarakan Jasa Telekomunikasi,Penyelenggara Jasa Telekomunikasi berhak: a. mendapatkan pelayanan perizinan Jasa Telekomunikasi; b. mendapatkan pelayanan permohonan penetapan Penomoran Telekomunikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; c. mendapatkan perlakuan yang sama dalam penetapan tarif sewa jaringan yang ditetapkan oleh Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi terhadap Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi lain; d. menggunakan teknologi pilihannya untuk menyelenggarakan layanan Jasa Telekomunikasi sesuai dengan ketentuan melakukan kerja sama dengan Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi, Penyelenggara Jasa Telekomunikasi, dan/atau pihak lain dalam penyelenggaraan layanan Jasa Telekomunikasi

Pasal 12 : (1) Penyelenggara Jasa Telekomunikasi dapat melakukan Ketersambungan dengan Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi. (2) Ketersambungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk penyewaan oleh Penyelenggara Jasa Telekomunikasi kepada Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi. (3) Ketersambungan perangkat milik Penyelenggara Jasa Telekomunikasi dengan Jaringan Telekomunikasi dilaksanakan secara transparan dan tidak diskriminatif

PIKERTI ITB mengingatkan dalam konteks seluler dapat diindikasikan membuka peluang Network Sharing /Domestic Roaming dengan adanya ketersambungan antar penyelenggara jasa telekomunikasi dengan penyelenggara Jaringan.

Tak belajar
Jika dilihat dari sejarah penyusunan RPM ini sepertinya Kominfo tak mengambil pelajaran dari kegagalan revisi  PP Nomor 52 Tahun 2000 dan PP Nomor 53 Tahun 2000 yang ditolak keras oleh sebagian pemain industri Halo-halo pada 2016 lalu.

Wacana merevisi KM Jastel sebenarnya sudah ada sejak 2013, tetapi terhenti karena memang disadari akan bertentangan dengan aturan diatasnya.

Hal yang menjadi pertanyaan belum terjawab adalah memaksakan menggulirkan RPM Jastel, padahal Kominfo sudah terbentur dengan tak suksesnya merevisi PP Nomor 52 dan 53 Tahun 2000. Kenapa Kominfo tak mengusulkan perubahan terhadap Undang-undang No 36/99 tentang Telekomunikasi untuk menyelesaikan semua sangkarut dan benar-benar menjawab dinamika persaingan industri di masa depan?

Bukankah regulator yang bijaksana harusnya memayungi dan memfasilitasi industri menghadapi perubahan di masa depan?

@IndoTelko