Basa-basi menaklukan "Parasit"

Indonesia memanfaatkan ajang Sidang the 17th ASEAN Telecommunication and Information Technology Ministers Meeting (TELMIN-17) pada 30 November - 1 Desember  2017 di Kamboja untuk mengajak negara-negara yang tergabung dalam ASEAN lebih berani menghadapi aksi layanan Over The Top (OTT) di Asia Tenggara.

"Negara-negara di ASEAN harus lebih berani menghadapi OTT. Harus ada kesiapan menghadapi OTT dari aspek bisnis, teknis, legal termasuk juga konten dengan keselarasan dengan kaidah-kaidah dan norma. Indonesia memandang pentingnya dibentuk joint-force sebagai upaya menyusun strategi bersama dalam menghadapi isu-isu tersebut," kata Menkominfo Rudiantara.

Menurut Rudiantara, dengan lebih dari 600 juta penduduk ASEAN harus lebih berani dalam menata karena memiliki skala ekonomi sebagai daya tawar dalam menata penyelenggaraan layanan OTT.  (Baca: ASEAN dan OTT)

Dalam catatan, ini sudah kedua kalinya Pria yang akrab disapa RA itu menyuarakan suara "kolaborasi" ke negara-negara di ASEAN agar bisa menaklukkan OTT.

Saat menghadiri  ASEAN ICT Ministries Meeting di Vietnam (26/11/15), RA juga mengajak menteri-menteri ICT di ASEAN untuk bersatu menghadapi dominasi OTT global.

“Kita harus bersikap terhadap tegas terhadap OTT global. Tidak bisa diteruskan hanya melihat Asean sebagai pasar saja,” tegas RA dua tahun lalu. (Baca: Melawan OTT)

Sayangnya, jika melihat Declaration dan Joint-Media Statement dari Siem Reap Declaration on ICT Connectedness and Readiness: Towards a Digitally-Integrated Community tak terlihat dengan jelas "suara" Rudiantara soal melawan OTT global ini.

Siem Reap Declaration menyetujui promosi program bersama setidaknya berkenaan dengan: direct connectivity and Internet exchange points, mendorong layanan roaming internasional yang lebih transparan dan harga yang lebih terjangkau, mobile number portability. Analog Switch Off (ASO) Tahun 2020 menjadi penyiaran digital, dan memberikan ekosistem startup dengan focus pada UMKM.

Sementara itu, Joint-Media Statement sebagai pernyataan bersama bertujuan mendiseminasikan capaian kerja sama TIK ASEAN terutama yang terkait dengan implementasi ASEAN ICT Masterplan 2020 (AIM 2020) dan perkembangan kerja sama dengan Mitra Wicara ASEAN dan Mitra Pembangunan dalam mewujudkan kawasan yang terintegrasi secara digital.

Kepada ASEAN, Uni Eropa memberikan sharing berkenaan dengan Digital Single Market Strategy termasuk di dalamnya meliputi peniadaan biaya roaming, portability dari konten, pemanfaatan spectrum 700 MHz untuk mengembangkan jaringan 5G, pengembangan kebijakan yang membantu difabel dalam layanan TIK, dan pengembangan keahlian digital .

ASEAN dan ITU telah menyepakati area kerjasama untuk tahun 2018 yang meliputi antara lain kemanan Informasi dan Integrasi Jaringan, Akses pitalebar untuk wilayah pinggiran dan perdesaan, inklusi digital dan langkah-langkah dalam mendorong Asean ICT Masterplan.

Hanya ada angin segar kala Rudiantara melakukan pertemuan bilateral dengan US-ABC yang membahas  OTT taxation dan commercial presence di Indonesia dan upaya menangkal konten negatif OTT.

Simalakama
Sebenarnya, hal yang wajar Rudiantara mengajak negara-negara di ASEAN untuk melawan OTT yang kehadirannya masih menjadi simalakama bagi Indonesia.

Di satu sisi, OTT dibutuhkan untuk utilisasi jaringan broadband dan menggerakkan ekonomi digital. Tetapi di sisi lain OTT Global belum berkontribusi maksimal bagi negara (Baca: Penerimaan), sehingga banyak dianggap seperti "parasit" yang menumpang hidup dari pasar digital tanah air yang tengah bertumbuh.

Soal besarnya devisa yang disedot melalui OTT Global ini sudah banyak yang menyuarakan.  Data dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia menyatakan hampir 90% trafik lari keluar negeri untuk mengakses data.

Dalam perkiraan APJII, Indonesia menyumbang pendapatan bagi pemain konten dari luar negeri sekitar Rp 15 triliun per tahun dimana untuk Facebook sekitar US$ 500 juta, Twitter (US$ 120 juta), LinkedIn (US$ 90 juta), dan pemain asing lainnya.

Dari sisi konektifitas karena harus melayani trafik keluar negeri, operator pun harus membeli bandwidth internasional US$ 218 juta per tahun.

Sedangkan dari sisi pajak malah ada potensi yang tak bisa diraup dari pemain asing sekitar Rp 10 triliun hingga Rp 15 triliun menurut The Center for Welfare Studies.

Anomali
Sebenarnya, Indonesia sudah merintis lama untuk menaklukan OTT melalui sejumlah regulasi. Salah satu senjata yang ditakuti para pemain OTT adalah Peraturan Pemerintah  No.82 Tahun 2012 tentang Penyelengaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) yang berisikan banyak kewajiban untuk dipenuhi mulai dari registrasi hingga kewajiban penyediaan data center di Tanah Air.

Selain itu ada juga Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (Over The Top/OTT) yang digagas sejak tahun 2016.

Sayangnya, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebagai leading sector untuk menjalankan PP PSTE terkesan "gamang" dan malah berencana membuat aturan ini menjadi lebih "ringan" sehingga terkesan tak pro dengan pengusaha lokal.

Wacana mengubah kewajiban penyediaan data center di tanah air menjadi pengklasifikasian data merupakan pukulan telak bagi pemain lokal yang kadung sudah berinvestasi di bisnis Pusat Data dan anomali dari keinginan Rudiantara yang berkoar-koar ingin "menaklukkan" OTT Global. (Baca: Revisi PP PSTE)

Hal sama juga terlihat dari RPM OTT yang isinya berbeda dengan Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan sendiri oleh Rudiantara pada 2016. Jika di SE terlihat sangat "ketat dan keras" kepada OTT, entah kenapa di Draft RPM OTT berubah menjadi lebih "Lembut". (Baca: Draft RPM OTT)

Jika dua regulasi itu disahkan dan dijalankan, akankah negara-negara di ASEAN mengikuti anomali yang dipraktikan Indonesia?

@IndoTelko