Mewaspadai bahaya laten digitalisasi

Ajang ITU Telecom World 2017 di Busan, Korea Selatan pekan lalu lumayan berkesan bagi Indonesia.

Di ajang bergengsi itu, Menkominfo Rudiantara menyampaikan Keynote Speech tentang pentingnya digitalisasi dan model bisnis digital untuk menjadi solusi bagi perbaikan perekonomian dunia.

Rudiantara dalam pidatonya mengutip data dari World Economic Forum 2015 tentang kesenjangan ekonomi di seluruh dunia semakin meluas. (Baca: ITU Telecom)

Hal ini disebabkan oleh kapitalisasi model bisnis tertentu yang menyebabkan distribusi ekonomi tidak merata.

Perluasan kesenjangan ekonomi ini dapat menyebabkan permasalahan sosial-ekonomi di tengah masyarakat hingga menjadi ancaman dalam kestabilan politik dan beban terhadap pelayanan sosial, demonstrasi, radikalisme, hingga terorisme.

Bukti menunjukkan bahwa dampak positif digitalisasi mampu menggerakkan output ekonomi dunia bertambah US$ 193 miliar melalui job creation sehingga digitalization menjadi penggerak (driver) pertumbuhan ekonomi.

Rudiantara menjelaskan bagaimana melakukan utilisasi digitalisasi agar benar-benar memberikan pengaruh dampak positif yang signifikan, yaitu dengan mengarahkan digitalisasi untuk penguatan dan pemberdayaan UMKM termasuk dengan skema bisnis shared economy.

Mengangkat UMKM di wilayah under-served juga dengan model bisnis yang disruptif, namun tentu dengan penyediaan konektifitas yang mumpuni.

Rudiantara pun membawa studi kasus keberhasilan model bisnis digital Indonesia untuk menjadi bukti nyata dan best practice dalam meningkatkan perekonomian bangsa melalui kisah sukses Tokopedia dan Go-Jek.

Kedua startup dinilai telah berhasil mengimplementasikan model bisnis disruptif yang mampu memberikan peluang bisnis dan lapangan pekerjaan.

Tokopedia mampu menampung lebih dari dua juta merchant yang tersebar di lebih dari 5.600 kecamatan di seluruh Indonesia yang 80% diantaranya merupakan UMKM baru, sedangkan Go-Jek telah mampu menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan seagai driver Go-Jek & pendapatan bagi UMKM kebanyakan.

Go-Jek juga telah mengubah gaya hidup masyarakat dengan sistem ridehailing, lebih jauh memungkinkan pemerataan pendapatan bagi masyarakat.

Bahaya Laten
Paparan dari Pria yang akrab disapa RA ini tentu semuanya "cerita manis" tentang digitalisasi.

Tetapi bagaimana dengan "cerita pahitnya"? Sudah menjadi rahasia umum dampak digitalisasi tak semanis dongeng yang diceritakan RA. Ambil contoh kasus GO-JEK, ternyata para mitranya tak sepenuhnya berada dalam posisi setara dengan penyedia platform. Bahkan jika dilihat, tanpa disadari para mitra seperti buruh informal yang harus mengejar bonus poin untuk bisa mendapatkan tambahan.

Posisi GO-JEK atau Tokopedia sebagai Unicorn alias startup yang telah diinjeksi dana senilai US$ 1 miliar di satu sisi membuat Indonesia bangga, tetapi disisi lain juga ada bahaya yang mengancam.

Pasalnya, startup yang sudah merasakan disuntik dana besar, justru membuat pemilik tak dominan lagi andilnya. Sang Founder biasanya hanya memiliki saham di bawah 10% hingga 5%.

Lha, kalau begini digitalisasi untuk siapa? Rakyat atau pemilik modal?

Pemerintah harus mulai mewaspadai permainan tiki-taka kapital asing berkedok seeding atau digitalisasi bagi anak-anak bangsa ini.

Di Amerika Serikat sudah ada gejala dimana perputaran uang hanya di lingkungan investor dimana aliran uang mengalir ke pemain digital sehingga ujungnya jurang antara si miskin dan si kaya makin dalam.

Digitalisasi memang tak bisa ditolak. Tetapi membiarkan anak bangsa terseret arus digitalisasi dan terjebak dalam "penjajahan" kapitalis asing, tentu bukan keinginan dari pendiri bangsa ini.

@IndoTelko