Draft RPM OTT tak memuaskan!

ilustrasi

JAKARTA (IndoTelko) - Draft Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (Over The Top/OTT) yang dibahas dalam diskusi publik pada Senin (7/8) oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dinilai tidak memuaskan dan harus banyak diperbaiki agar sesuai dengan kondisi bisnis konten yang berkembang.

"Anda kalau tanya saya, itu Draft RPM banyak berubah auranya dari Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan Menkominfo pada 2016. Padahal waktu itu katanya cikal bakal RPM adalah SE, kenapa ketika konsultasi publik disetop tahun lalu dan dibuat lagi tahun ini bisa berbeda jauh? Ada apa ini, terkesan seperti masuk angin," sungut Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, kemarin.

Menurut Heru, semangat yang ditunjukkan dalam draft baru lebih kepada "pendaftaran" bukan lagi "perijinan". Dari semangat yang berbeda ini sudah ada potensi kehilangan pendapatan negara yakni isu Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) telekomunikasi dan sumbangan Universal Service Obligation (USO). (Baca: Server lokal di OTT)

Belum lagi dari potensi kehilangan peluang usaha dimana kewajiban penempatan server lokal lenyap di draft RPM OTT, padahal di Surat Edaran (SE) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten melalui internet (OTT) yang ditandatangani Menkominfo Rudiantara jelas itu disebutkan. (Baca: SE OTT)

"Ini Draft RPM OTT sudah dibaca belum oleh Rudiantara? Apa dia tahu ada yang berbeda dengan isi SE yang katanya jadi rujukan? Ini harus clear, jadi kita enak mempermasalahkan, ide siapa ini menghilangkan kewajiban server lokal itu," selidiknya.

Lebih lanjut dalam catatan Heru, banyak hal teknis yang harus diperjelas dalam draft RPM OTT. Misalnya, soal definisi OTT yang belum membedakan antara pemilik platform, pemain konten atau mereka yang menumpang di platform. "Ini soal definisi saja gak jelas mana yang untuk layanan konten, mana yang blog, dan lainnya," katanya. (Baca: Draft aturan OTT)

Sementara untuk sanksi mempertanyakan menerapkan bandwidth management. "Istilah ini bikin bingung masyarakat dan operator bisa dirugikan. Soalnya hubungan langsung itu pelanggan dengan operator. Kalau ini diterapkan, operator yang di-bully. Belum harus ada investasi lagi. Pemerintah kalau bikin aturan harusnya mikir juga bisa dieksekusi atau tidak," tukasnya.

Hal lain yang dipertanyakan adalah tidak adanya peran dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di draft itu. "Padahal kominfo sangat ingin PPNS dimasukkan dalam revisi UU ITE namun fungsinya tidak terlihat di draft RPM ini," pungkasnya.

Secara terpisah, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII) Kamilov Sagala melihat draft RPM OTT sudah melenceng dari keinginan menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di dunia maya. "Kalau saya baca, seolah-olah "keras" padahal "lembut" ini draft RPM. Ini kalau diteruskan jadi RPM dan Permen akan menjadi macan ompong," tukasnya.

Kamilov melihat ada keraguan dari pemerintah untuk menegakkan aturan dengan tidak semua yang ada di SE diadopsi dalam draft RPM OTT. "Saya lihatnya Kominfo ini seperti anak kecil sedang main gasing yang berputar di semestanya sendiri. Padahal yang diaturnya itu menyangkut hajat hidup orang banyak. Saran saya, perbaiki lagi itu draft RPM OTT kalau memang ingin menegakkan kedaulatan Indonesia di dunia maya," tegasnya.

Sebelumnya, Direktur Telekomunikasi Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Benyamin Sura mengatakan, diskusi publik yang dilakukan pada Senin (7/8) lalu baru permulaan. "Kita mendengar masukan. Ini masih draft, belum RPM. Nanti kalau sudah RPM baru dibuka konsultasi publiknya. Silahkan saja semua memberi masukan," tutupnya.(id)