Belajar dari kisruh Freeport di Indonesia

ilustrasi

Nama PT Freeport Indonesia belakangan ini ramai diperbincangkan di media massa.

Salah satu yang dibahas adalah pernyataan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan tentang besaran penerimaan negara dari PT Freeport Indonesia yang ternyata sangat sedikit dibandingkan dengan industri lainnya.

Jonan membandingkan penerimaan negara dari cukai rokok dengan yang diterima dari Freeport Indonesia. Nilai penerimaan dari cukai rokok diperkirakan Rp 139,5 triliun dalam satu tahun. Sementara Freeport hanya menyetor Rp 8 triliun atau dalam 25 tahun beroperasi sekitar Rp 214 triliun.

Jonan pun tak segan membandingkan Freeport dengan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) yang menyumbang penerimaan negara sekitar Rp 20 triliun setiap tahun.

Tak hanya sampai disitu, secara valuasi, Freeport-McMoRan Inc, yang merupakan induk perusahaan PT Freeport Indonesia memiliki nilai kapitalisasi pasar sebesar US$ 21,47 miliar atau sekitar Rp 287 triliun.

Nilai itu ternyata jauh dibawah Telkom yang minggu lalu kapitalisasi pasarnya mencapai Rp 384,3 triliun. Sementara Brand Finance pada 2017 mendapuk merek Telkom senilai US$ 4,3 miliar atau sekitar Rp 57,33 triliun.

Hikmah
Pelajaran apakah yang bisa diambil dari paparan yang diungkap Jonan tersebut? Jika dilihat secara makro, ternyata memang telah terjadi pergeseran mesin pertumbuhan perekonomian.

Bisnis tambang yang dianggap padat modal sepertinya secara perlahan mulai digeser oleh industri teknologi informasi.

Tak percaya? Saat ini Apple merupakan perusahaan paling berharga dalam S&P 500 dari 13 perusahaan terbesar.

Selanjutnya ada nama seperti Google, Microsoft, Warren Buffet Berkshire Hathaway, Amazon, Facebook, ExxonMobil, Johnson & Johnson, JPMorgan Chase, Wells Fargo, GE dan AT & T.

Bahkan dengan kas tunai sebesar US$ 246,1 miliar yang dimiliki Apple lebih besar nilai kapitalisasi pasarnya dari Procter & Gamble (PG), Bank of America (BAC), Chevron (CVX) dan Walmart (WMT).

Dalam industri teknologi informasi, tak dapat disangkal, terobosan baru dengan cepat dapat melemahkan model bisnis yang sebelumnya sangat diandalkan untuk meraup laba.

Melesatnya Apple ke jajaran perusahaan dengan valuasi setengah triliun dollar-plus menggambarkan pilihan investor terhadap perusahaan teknologi di Amerika Serikat.

Di tengah fenomena Teknologi Informasi (TI) bukan lagi sekadar business supporting system/ tools, tetapi sudah menjadi bisnis itu sendiri, sudah saatnya pemerintah Indonesia lebih serius menggarap ekonomi digital, bukan lagi sekadar retorika.

Harap diingat, TI dibangun pada dasarnya untuk mendigitalisasi bisnis sehingga proses menjadi lebih cepat, adaptif, orientasi customer experience, data yang berintegritas, dimana ujung-ujungnya agile (lincah), efisien dan trusted.

Pemerintah pernah mengungkapkan potensi ekonomi digital Indonesia mencapai US$ 130 miliar pada tahun 2030. Untuk merealisasikan ini dibutuhkan dana sekitar US$ 12 miliar per tahun untuk meningkatkan kemampuan ekonomi digital secara nasional.

Hal yang disayangkan, hingga sekarang belum ada road map atau blue print yang jelas dan konsisten dalam merealisasikan potensi yang diinginkan itu.

Sejauh ini pemerintah lebih banyak bereaksi ketimbang membangun platform yang berkelanjutan menuju ekonomi digital sesungguhnya. (baca: Kebutuhan ekonomi digital)

Kita belum pernah mendengar pemerintah mengumumkan seperti yang dilakukan Singapura belum lama ini dengan menyatakan akan berinvestasi sekitar S$2.4 miliar atau setara US$1.7 miliar untuk empat tahun kedepan untuk membantu pengusahanya go digtal.

Dana sebesar itu digelontorkan dengan alokasi yang jelas oleh pemerintah Singapura, misalnya S$80 juta untuk memberdayakan pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) go digital dan lainnya.

Tak hanya itu, ada lagi dana sekitar S$600 juta (US$423.22 juta) akan digunakan untuk menopang aksi perusahaan lokal melakukan ekspansi.

Pemerintah Singapura mengeluarkan pengumuman inisiatif tersebut oleh Menteri Keuangannya. Pesannya jelas ke investor. Dana memang ada dan koordinasi jelas melalui satu pintu.

Sebuah contoh pengambilan kebijakan yang layak ditiru jika memang ingin menjadikan Indonesia sebagai sumber energi bagi ekonomi digital Asia.

@IndoTelko