Setumpuk PR pasca revisi UU ITE dijalankan

ilustrasi

Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mulai berlaku pada Senin, 28 November 2016.

Revisi UU ITE ini sudah melewati perjalanan panjang jika dirunut ke belakang. Agenda merevisi UU ITE adalah salah satu program utama yang dijanjikan Rudiantara usai dilantik menjadi Menkominfo di Kabinet Kerja pada 2014 lalu. (Baca: Perjuangan Revisi UU ITE)

Bagi Rudiantara, hasil revisi UU ITE adalah jalan tengah terbaik. Hal itu dilihat dari berhasilnya dipertahankannya Pasal 27 yang banyak diperdebatkan pegiat internet karena dianggap menjadi ancaman bagi kebebasan berekspresi di dunia maya.

Dalam catatan yang dikeluarkan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) ada lima poin utama yang diubah dalam revisi UU ITE.

Poin pertama yang diubah dalam Revisi UU ITE tersebut adalah menghindari serta merta penahanan dengan menurunkan pidana penjara dari 6 (enam) tahun menjadi 4 (empat) tahun. (Baca: Revisi UU ITE)

Poin kedua adalah terkait “right to be forgotten”, atau hak untuk dilupakan. Detail dari mekanisme penerapannya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan dipastikan tidak akan melanggar UU lainnya.   

Poin ketiga adalah memberi perlindungan masyarakat dari konten negatif. Terdapat dua cara, yaitu perlindungan dari segi pembatasan akses penyebaran dan dari segi pendidikan. Dalam hal konten, pemerintah selalu mendapat masukan dari berbagai pihak terutama terkait konten pornografi dan judi.

Poin keempat adalah mengadopsi putusan MK dengan mengubah pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan, dari yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah menjadi Undang-Undang.

Poin terakhir yang diubah dalam Revisi UU ITE adalah penegasan bukti hukum yang sah dari hasil intersepsi adalah intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan aparat penegak hukum.

PR
Hal yang paling berat sekarang adalah mengawal implementasi revisi UU ITE. Ada setumpuk Pekerjaan Rumah (PR) yang harus diselesaikan secepat mungkin oleh pemerintah, terutama terkait regulasi turunan dari hasil revisi UU ITE.

Regulasi pertama yang ditunggu tentunya tentang aturan teknis dari right to be forgotten karena ini sesuatu hal yang baru di Indonesia. Jika dibaca sekilas, right to be forgotten hanya berlaku untuk situs yang ada di Indonesia, lantas bagaimana dengan situs yang ada di luar negeri? Ini tentu harus lebih diperjelas dalam aturan turunan selain mekanisme penerapannya.

Regulasi kedua yang harus disiapkan adalah terkait perlindungan terhadap pemilik platform yang sifatnya User Generated Content. Soalnya, di revisi UU ITE masyarakat dilarang membuat dan menyebarkan informasi yang bersifat tuduhan, fitnah, maupun SARA yang mengundang kebencian. Dalam UU ITE, yang terjerat bukan hanya yang membuat, tapi justru juga yang mendistribusikan dan mentransmisikannya.

Nah, jika kita menggunakan kaca mata kuda dalam menafsirkan aturan ini, artinya platform Facebook, Twitter atau User Generated Content lainnya bisa ikut terkena UU ITE jika ada tersiar konten berbau hate speech padahal di-posting oleh penggunanya. (Baca: Safe Harbor Policy)

Solusinya, Safe Harbor Policy atau aturan semacam Digital Millenium Copyright Act (DMCA) dimana salah satu tujuannya melindungi pemilik platform dari tuntutan hukum atas konten yang ditayangkan harus segera dikeluarkan.

Pekerjaan lainnya yang harus dituntaskan Kominfo adalah memikirkan cara blokir konten yang tepat sasaran, adil, cepat, dan transparan.

Isu blokir memang menjadi alergi massal di dunia maya. Sementara di sisi lain, self sensored sepertinya belum menjadi tren di Indonesia. Langkah awal mungkin adalah  membentuk kembali Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (PSIBN) yang lebih bisa diterima semua elemen masyarakat.

Berikutnya meminta Penyedia Jasa Internet (PJI) untuk menyediakan fitur self sensor agar pengguna bisa memanfaatkannya layaknya panic button jika ada konten yang dianggap tak sesuai dengan etika dan norma.

Hal yang terakhir tentunya melakukan edukasi agar literasi tentang penggunaan internet yang produktif terjadi di masyarakat. Pengguna harus dibiasakan dengan tagline, “Think before posting” agar revisi UU ITE tidak dianggap menjadi ancaman bagi demokrasi.

@IndoTelko