Babak baru revisi PP tentang telekomunikasi dan frekuensi

Teknisi tengah memeriksa jaringan. Revisi aturan diharapkan membuka model bisnis berbagi jaringan.(dok)

Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) akhirnya membuka secara resmi draft Rancangan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.

Ini bisa dikatakan upaya dari Kominfo memenuhi desakan publik yang ingin tahu tentang revisi aturan yang akan mengubah wajah industri telekomunikasi di masa depan. (Baca: Misteri Revisi PP)

Uji publik melalui situs kementerian (www.kominfo.go.id) terhadap RPP tentang Perubahan atas PP No 52 dan 53 Tahun 2000 dengan pelaksanaan uji publik dilakukan mulai tanggal 14 November hingga 20 November 2016. (Baca: Draft Network sharing)

Dalam dokumen yang diunduh IndoTelko melalui situs www.kominfo.go.id, terlihat memang isu hangat tentang network sharing yang menggelinding sejak Juni 2016 dibahas dalam dua RPP tersebut.

Selain Network Sharing, ada juga pembahasan soal pengalihan frekuensi yang lumayan menjadi perdebatan sejak wacana revisi beredar.

Jika dibaca, Pasal-pasal baru yang dimasukkan ke dalam RPP selama ini dalam praktiknya sudah terjadi tetapi lebih ke business to business (B2B) oleh pelaku usaha.

Misalnya, soal penyewaan jaringan telekomunikasi. Ini adalah bisnis biasa di infrastruktur telekomunikasi dalam menjual kapasitas tersedia di segmen wholesales. RPP ini sepertinya ingin menegaskan posisi setiap pemain agar tidak ada multitafsir di sisi hukum.

Di RPP ditegaskan penyewaan jaringan telekomunikasi berupa kapasitas jaringan telekomunikasi adalah penyewaan seluruh atau sebagian kapasitas sistem jaringan telekomunikasi melalui rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi, yang dibangun dan/atau disediakan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi, yang mencakup sub sistem jaringan kabel, sub sistem jaringan optik, sub sistem jaringan frekuensi radio, dan/atau sub sistem jaringan elektromagnetik lainnya.

Isu krusial
Hal yang krusial di RPP ini adalah soal wacana “wajib” berbagi jaringan atas nama persaingan usaha. Bola panas inilah yang harus clear nantinya dijelaskan pemerintah karena sesuatu yang "wajib" malah menjadikan ada satu pihak diuntungkan, tetapi menjadi beban bagi pihak lain.

Pemerintah juga harus bisa mengklarifikasi isu frekuensi di RPP No 53 Tahun 2000 karena ini tergolong “ngeri-ngeri sedap”, terutama soal pengalihan frekuensi dan frekuensi pooling.

Jika merujuk ke Undang-undang No 36 tahun 1999, tentunya ini akan menjadi perdebatan terutama soal isu penggunaan frekuensi bersama dan kewajiban membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi.

Kewajiban USO
Hal yang harus dicermati adalah RPP 52 tahun 2000 terlalu bersemangat membahas soal berbagi jaringan tetapi lupa mengkoreksi Pasal 28 dari PP 52 Tahun 2000.

Dalam pasal PP 52 Tahun 2000 di Pasal 28 dinyatakan Kewajiban membangun dan menyelenggarakan jaringan di wilayah pelayanan universal dibebankan kepada penyelenggara jaringan tetap lokal.

Padahal, perkembangan teknologi, bahkan program BTS di pelosok milik Kominfo, jelas-jelas mengandalkan layanan seluler. Tentunya ada baiknya pasal ini direvisi agar tak menjadi masalah di kemudian hari.

Terakhir, masa konsultasi yang terlalu pendek, rasanya tak cukup bagi sebuah aturan yang akan mengatur bisnis dengan nilai ratusan triliun rupiah per tahun. (Baca: Polemik Revisi PP)

Jika merujuk kepada praktik yang biasa terjadi, dibutuhkan 14 hari kerja untuk konsultasi publik sebuah aturan. Masa konsultasi terlalu pendek bisa memunculkan dugaan ruang yang dibuka untuk publik hanya basa-basi karena revisi sudah tinggal ditandatangani.

@IndoTelko