Ada kolaborasi PengPeng dibalik revisi biaya interkoneksi dan network sharing?

Teknisi di salah satu BTS. Network sharing dituding untungkan asing(dok)

JAKARTA (IndoTelko) – Kolaborasi Penguasa-Pengusaha (PengPeng) diduga berada di balik rencana Revisi  Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 dan Nomor 53 Tahun 2000, terutama yang terkait dengan interkoneksi dan network sharing.

Revisi PP No.52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dikaitkan dengan revisi kebijakan biaya interkoneksi, sementara perubahan PP No.53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit dikaitkan dengan wacana network sharing.

Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dalam keterangannya beberapa waktu lalu menyatakan perubahan kedua PP itu dibutuhkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan penghematan devisa karena akan terjadi efisiensi sekitar US$ 200 miliar.(Baca: Kominfo soal revisi PP)

Namun, alasan Kominfo dibantah Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu. Organisasi ini menduga revisi kedua PP merupakan pesanan perusahaan China Telecom Cooporation Limited yang akan membeli saham salah satu operator Jasa telekomunikasi seluler kedua  dan ketiga terbesar di Indonesia. (Baca: Network Sharing rugikan industri Telco)

Kabarnya sudah ada Conditional sale and purchase agreement (CSPA) yang di tanda tangani pihak China Telcom Corporation Limited dan kedua perusahaan operator Jasa telekomunikasi seluler pada bulan juni 2016 dimana salah satu klausul mencantumkan soal revisi kedua aturan tersebut.  

Sekretaris Jendral Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu Tri Sasono mengungkapkan dalam klausul pasal 3 perjanjian tersebut menyatakan bahwa pihak Penjual memberikan jaminan dan pernyataan untuk membantu pihak China Telcom, dimana kedua operator telepon seluler tersebut dapat menjamin pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk revisi PP 52 dan PP 53 terkait spektrum sharing antar Telkom Group  dan operator lainnya

“Maksud dan tujuan klausul pasal 3  tersebut agar pihak China Telcom setelah mengambilalih saham kedua perusahaan operasi jasa telekomunikasi tanpa perlu mengeluarkan biaya Investasi besar untuk penambahan  alokasi spectrum frekuensi dengan pemerintah melakukan revisi PP 52 dan 53,” katanya melalui keterangan tertulis, kemarin.

Padahal, sesuai ketentuan bagi  pemegang lisensi jasa operator telekomunikasi seluler yang dikeluarkan oleh Menkominfo  dalam PP No 53  tahun 2000 jelas bahwa keduanya punya  kewajiban untuk membangun  infrastruktur  dari alokasi spektrum dan tidak diperbolehkan untuk mengunakan alokasi spektrum frekuensi milik operator telekomunikasi lainnya

Begitu juga dari Revisi PP No 52 terkait  tarif interkoneksi antar operator (off net) yang juga menjadi klausul yang harus dijamin dengan penurunan biaya interkoneksi oleh pemerintah agar China Telcom dapat menguasai pasar  Industri telekomunikasi tanpa harus membangun infrastruktur jaringan untuk menambah pelanggan.

Dibalik semua itu juga China Telcom setuju untuk membiayai biaya operasional untuk dapat menjadikan sebuah pembenaran agar Menkominfo menyetujui Revisi PP 52 dan PP 53 sebagai syarat yang diminta pihak China Telcom.

“Karena itu Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu dari awal sudah menduga bahwa ada ketidakberesan dengan Revisi PP 52 dan PP 53. Yang sebenar justru seharusnya sudah tidak diperlukan lagi pengaturan tariff interkoneksi ketika struktur  pasar Industri telekomunikasi sudah masuk dalam katagori persaingan sempurna, diimana dalam pasar persaingan sempurna tidak boleh ada kebijakan pemerintah untuk mengatur biaya interkoneksi,” tegasnya.

Menurutnya,  besaran niaya interkoneksi didasarkan kepada cost base masing masing operator seluler, agar dari tariff interkoneksi yang ditentukan oleh masing masing operator akan memaju terjadinya persaingan usaha yang sempurna ,dan operator telekomunikasi untuk tidak membangun jaringan ke seluruh Indonesia.

Ditegaskannya, revisi kedua PP juga akan merugikan satu-satunya BUMN telekomunikasi di Indonesia yaitu Telkom dengan rencana kebijakan perhitungan biaya interkoneksi, network sharing, dan spectrum sharing.

Pemicunya, penetapan biaya interkoneksi di bawah biaya yang harus ditanggung Telkom karena terlanjur membangun jaringan hingga ke pelosok tetapi masih di atas biaya operator-operator asing yang tidak  membangun jaringan sampai pelosok sebagai syarat bagi sebuah perusahaan jasa telekomunikasi yang sama-sama memiliki lisensi peyelenggaraan telekomunikasi dengan Telkom dimana seharusnya mereka harus membangun jaringan hingga seluruh Indonesia seperti yang diperintahkan UU Telekomunikasi yang menjadi keberatan Telcom China Corporation Limited untuk mengambil alih operator seperti Indosat dan Axis.

“Karena itu Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu akan menyurati Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki adanya dugaan “korupsi Kertas putih” berupa Revisi PP 52 & 53 yang diduga dilakukan oleh para mafia telekomunikasi yang berkumpul di Kemenkominfo yang diduga pesanan China Telcom,” pungkasnya.  

Dampak
Sebelumnya, dalam kajian yang dikeluarkan UBS terkait wacana network sharing memang memberikan dampak bagi Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata. (Baca: Kerjasama Indosat-XL)

Dalam simulasi yang dibuat UBS, Earning Before Interest Tax Depreciation Amortization (EBITDA) Telkomsel akan turun 17% jika multi operator core network (MOCN) alias berbagi tak hanya jaringan tetapi spektrum dijalankan.

Jika multi operator radio access network (MORAN) alias berbagi BTS tanpa berbagi frekuensi di jalankan di luar Jawa, maka EBITDA dari Telkomsel turun 2%. Seandainya tak ada network sharing maka EBITDA Telkomsel positif di 15%. dalam kurun waktu 12-18 bulan ke depan.

Hal ini berbalik dengan posisi Indosat yang bisa menikmati pertumbuhan EBITDA 13% jika Moran diterapkan di luar Jawa, kenaikan 17% jika MOCN diterapkan, tetapi turun 19% jika network sharing tak ada.

Kondisi sama dengan XL dimana EBITDA akan naik 13% jika Moran diterapkan di luar Jawa, tumbuh 23% jika MOCN diterapkan, tetapi mengalami penurunan 20% jika tanpa network sharing.

Dalam 5 tahun terakhir, XL dan Indosat telah mengalami penurunan 5% pangsa pasar di daerah luar Jawa. Penurunan ini menjelaskan kedua operator kehilangan pasar sebesar 2% secara nasional.

Analisis UBS menunjukkan jika MOCN diterapkan Discounted Cash Flow (DCF) dari Telkomsel turun 14%, sementara Indosat naik 30% dan XL naik 40%. DCF ini digunakan untuk menentukan valuasi cash flow sebuah perusahaan dimasa depan dengan asumsi asumsi tertentu untuk mendapatkan nilai valuasi saat ini.

Menurut UBS, hingga semester I/2016 mobile revenue di Indonesia tumbuh 15,9% sehingga   menjadi negara tercepat pertumbuhan pasar mobile di Asia Pasifik. Tren ini diharapkan membawa dampak berkelanjutan untuk negara yang hingga saat ini masih rendah penetrasi smartphone dan membuat ekosistem yang baik untuk menjadi kompetitif.

Potensi yang besar ini sepertinya menjadikan investor asing masih tertarik mengucurkan dana ke sektor telekomunikasi.(id)