Alotnya memblokir konten di internet

Ilustrasi (dok)

Bisnis telekomunikasi sekarang telah bergeser di era Internet. Jika dulu “menjual” pulsa menjadi hal yang utama dan mainan dari operator.

Di era internet, subyek menjadi berubah ke pengguna. Di era rich content, pengguna bisa menjadi “sentral” permainan dan menghasilkan uang dari Internet.

Tak percaya? Simak perkiraan penghasilan para Youtuber asal Indonesia yang nominalnya lumayan menggiurkan. Paling top kabarnya ada yang bisa menghasilkan Rp 62 juta. Artis seperti Raditya Dika kabarnya bisa mendapatkan Rp 45 juta per bulan.

Di Internet, semua bisa menjadi “subyek” dan “obyek” dari bisnis. Aplikasi Bigo Live menawarkan konsep mengumpulkan gift dari pengunjung ke Channel Broadcast pemilik akun yang bisa ditukarkan menjadi uang tunai. Misal, minimal penarikan 6.700 diamond akan setara dengan Rp 2 juta. Kesimpulannya, Anda bisa menghasilkan uang jika kreatif dan konsisten menghasilkan konten.

Namun, dibalik semua itu, ternyata ada bom waktu yang siap meledak dari pola bisnis yang mengandalkan konsep User Generated Content ini. Terutama bagi negara seperti Indonesia yang belum menentukan batas “demarkasi” dari wilayah virtualnya, tetapi memiliki norma ketimuran dan sangat sensitif terhadap konten berbau  Suku Agama Ras dan Antar Golongan, pornografi, terorisme, dan lainnya.

Pemerintah Indonesia seperti tak punya “tangan” untuk langsung menjamah ke konten yang dianggap meresahkan jika berada di dalam sebuah platform seperti Youtube, BigoLive, atau di toko aplikasi.

Tak percaya? Simak saja proses pemblokiran aplikasi berbau konten Gay yang telah berjalan 10 hari dari surat dikirimkan Menkominfo Rudiantara ke Google, hingga sekarang (25/9) pemain seperti Blued, GUYZ, dan lainnya masih manteng di toko aplikasi, Playstore. (Baca: Sulitnya blokir konten)

Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pun mengakui “guntingnya” tak bisa menjamah langsung jika konten “ditumpangkan” di sebuah platform. Hal yang bisa dilakukan adalah meminta bantuan ke operator atau menyurati pemilik platform untuk mencabut konten yang dianggap meresahkan. (Baca: Pornografi di konten)

Benarkah Kominfo tak mampu? Tidak! Kominfo memiliki kemampuan dan alat yang cukup dibekali, mulai dari regulasi, panel konten, dan lainnya. (Baca: Panel Konten)

Di sisi regulasi ada UU ITE, UU Pornografi, dan lainnya hingga Peraturan Pemerintah tentang Penyelengaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).

Hal yang kurang dari Kominfo selama ini adalah “niat” untuk menegakkan regulasi atau membuat regulasi teknis agar pemilik platform tunduk pada hukum di Indonesia. (Baca: PP PSTE)

Misal, Rancangan Peraturan Menteri tentang Over The Top (OTT) yang hingga sekarang belum disahkan atau membuat turunan dari PP PSTE yang mendetailkan aspek penempatan data center dan lainnya. (Baca: Permen OTT)

Selama sejumlah Pekerjaan Rumah tersebut tak dituntaskan Kominfo, maka kesan rumit dan alot dalam memblokir sebuah konten yang jelas-jelas meresahkan masyarakat tetap akan terjadi. Pekerjaan mudah jangan dipersulit, taruhannya adalah generasi mendatang yang terancam moralnya atas nama kebebasan di internet. Ironis!

@IndoTelko