Pengguna tengah mengakses layanan seluler (dok)
Polemik revisi biaya interkoneksi belum mereda. Perdebatan sengit mengenai “keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda” ini terus memenuhi media massa, dan belum terlihat tanda-tanda akan segera berakhir.
Terdapat dua pokok masalah yang diributkan. Pertama, penurunan biaya interkoneksi 26% yang diumumkan melalui Surat Edaran (SE) SE Nomor 1153/M.KOMINFO/PI.0204/08/2016 ditandatangani oleh Plt. Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Geryantika Kurnia pada 2 Agustus lalu dipandang oleh Telkom dan Telkomsel merugikan, karena lebih rendah dari hasil perhitungan yang seharusnya.
Kedua, Telkom dan Telkomsel berpendapat bahwa Pemerintah seharusnya menyampaikan hasil perhitungan biaya interkoneksi tiap-tiap operator, bukan hanya hasil perhitungan biaya interkoneksi Telkom dan Telkomsel saja.
Di sisi lain, Pemerintah bersikeras menyatakan bahwa biaya interkoneksi yang ditetapkan sudah benar, dan telah memberikan cukup ruang kepada operator untuk berdiskusi secara langsung atau membuka jalan tengah.
Alhasil, perang opini pun dimulai di media massa. Mulai dari isu penurunan biaya interkoneksi adalah kebijakan pro rakyat, turunnya tarif ke pelanggan 30% jika penerapan biaya interkoneksi baru dijalankan, interkoneksi adalah zero sum game, tidak ada kerugian negara, dan lainnya.
Regulasi Interkoneksi
Jika melihat Pasal 25 UU 36/1999 tentang Telekomunikasi, setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib untuk menyediakan (apabila diminta) dan berhak untuk mendapatkan interkoneksi.
Kondisi saat ini, seluruh operator (penyedia layanan teleponi dasar) telah saling berinterkoneksi satu sama lain. Bertahun-tahun tidak pernah terdengar ada operator yang menghambat atau terhambat dalam pelaksanaan interkoneksi.
Artinya, jika ada yang berpendapat tujuan penurunan biaya interkoneksi untuk menghilangkan hambatan dalam pelaksanaan interkoneksi, jelas tidak tepat.
Dalam pasal tersebut justru terdapat prinsip dasar dalam berinterkoneksi yang tidak boleh dilanggar, yaitu: tidak saling merugikan. Karena pada hakikatnya, biaya interkoneksi merupakan jaminan terhadap pengembalian investasi operator. Itu jelas disebutkan dalam Pasal 16 UU 36/1999.
Ketentuan mengenai interkoneksi diatur lebih lanjut dalam Bagian IV-VII PP 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.
Pasal 22 dan 23 PP tersebut mensyaratkan: kesepakatan interkoneksi antar penyelenggara jaringan telekomunikasi harus tidak saling merugikan, dan biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil.
Selanjutnya dalam Pasal 37 PP tersebut dijelaskan bahwa besaran biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan formula, dan penetapan formula berdasarkan biaya (cost based).
Apabila ditarik satu garis lurus yang menghubungkan seluruh ketentuan tanpa kecuali, maka metode yang seharusnya ditetapkan Pemerintah adalah berdasarkan biaya operator masing-masing, yang secara umum dikenal dengan istilah asimetris.
Sehingga sangat wajar apabila Telkom dan Telkomsel, di samping keberatan atas penetapan hasil perhitungan biaya interkoneksinya yang tidak sesuai cost based, juga meminta Pemerintah menginformasikan hasil perhitungan biaya interkoneksi tiap-tiap operator agar pelaksanaan interkoneksi sesuai peraturan perundang-undangan.
Pemerintah sendiri sejak awal proses perhitungan ulang biaya interkoneksi (2015) telah berencana melakukan perhitungan biaya interkoneksi tiap-tiap operator. Dalam perjalanannya, Pemerintah juga telah memperoleh kesepakatan dari tiap-tiap operator dan telah menyelesaikan perhitungan biaya interkoneksi tiap-tiap operator.
Benarkah penurunan biaya interkoneksi adalah kebijakan pro rakyat dan akan menurunkan tarif ke pelanggan 30%
Banyak ahli yang menyatakan pendapat tersebut tidak tepat dengan beberapa alasan. Pertama, penurunan biaya interkoneksi hanya 2-4% dari tarif ke pelanggan.
Apabila memang berencana menurunkan tarif ke pelanggan, maka seharusnya Pemerintah lebih mengutamakan pengaturan tarif pungut (retail).
Kedua, kebijakan tersebut tidak berkorelasi positif terhadap kemampuan operator untuk membangun dan memperluas jaringan telekomunikasi. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, biaya interkoneksi merupakan cost recovery operator.
Ketiga, dampak jangka panjang kebijakan tersebut adalah turunnya kualitas layanan seluruh operator akibat price war, sementara tarif percakapan telepon di Indonesia saat ini termasuk yang termurah di dunia.
Nyatanya, perhitungan biaya interkoneksi berdasarkan biaya operator masing-masing (asimetris) justru lebih menguntungkan pelanggan. Dari hasil RDPU Komisi I DPR RI dengan para operator, diketahui biaya interkoneksi Telkomsel Rp 285, Tri Rp 120, Smatfren Rp 100, Indosat Ooredoo Rp 86, dan XL Axiata Rp 65 permenit.
Apabila menggunakan angka Pemerintah, maka total biaya jaringan untuk percakapan lintas operator (interkoneksi) adalah Rp 408. Namun jika metode asimetris yang digunakan, total biaya jaringan untuk percakapan dari Telkomsel ke XL Axiata (atau sebaliknya) hanya Rp 350, lebih murah Rp 58.
Zero sum game
Hal yang menarik adalah munculnya ilustrasi yang digunakan untuk mengaburkan potensi kerugian adalah “zero sum game” dan menghubung-hubungkan antara Average Revenue Per Minute (ARPM) dengan biaya interkoneksi di media massa belakangan ini.
Disebutkan bahwa ARPM Telkomsel Rp 162, dan perusahaan untung Rp 22 triliun. Angka Pemerintah Rp 204, masih lebih tinggi dari ARPM Telkomsel. Berarti Telkomsel tidak rugi. Terhadap hal ini jawabannya sederhana.
ARPM XL pada Q1 2016 adalah Rp 213, lebih tinggi dari angka Pemerintah (Rp 204). Seandainya ARPM erat kaitannya dengan biaya interkoneksi, lalu mengapa XL tidak protes?
Sebagai kesimpulan, Pemerintah sebaiknya taat aturan main dengan melaksanakan perhitungan biaya interkoneksi sesuai peraturan perundang-undangan. Soalnya, perhitungan biaya interkoneksi bukan operasi pasar.
Apabila Pemerintah, dengan alasan untuk memberikan manfaat yang lebih besar (bagi industri, masyarakat, dan negara) memandang perlu melakukan perubahan, maka silakan diubah dulu Undang-undangnya.
Jika semua sudah mengikuti aturan tak ada alasan Telkom dan Telkomsel menolak sebagai perusahaan yang sahamnya masih dikuasai negara.(*)
Ditulis oleh Muhammad Ghazali Suwardi, Presiden Mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi di Bandung.