Susahnya merawat biaya interkoneksi

Ilustrasi (dok)

Pemerintah kabarnya akan mengumumkan penurunan biaya interkoneksi tak lama lagi.

Sinyal yang dilempar Menkominfo Rudiantara penurunan tak jauh dari angka 20-an%. Petinggi operator pun sepertinya bisa menerima angka penurunan yang ditawarkan regulator.

Rencananya jika angka besaran penurunan sudah final, akan dikeluarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) sebagai payung hukum. (Baca juga: Biaya interkoneksi sudah final)

Biaya interkoneksi adalah komponen yang dikeluarkan operator untuk melakukan panggilan lintas jaringan. Perhitungan biaya interkoneksi adalah berbasis biaya yang dilandasi oleh UU 36/1999 tentang Telekomunikasi, PP 52/2000 mengenai telekomunikasi, dimana Pemerintah yang melakukan perhitungan tarif interkoneksi ini dan operator hanya menyediakan data-data yang dibutuhkan dalam proses perhitungan.  

Besaran biaya interkoneksi kepada operator lain dipengaruhi oleh hasil perhitungan biaya jaringan operator tujuan. Biaya jaringan operator tujuan ditentukan oleh biaya investasi penggelaran jaringan operator tujuan. Biaya investasi ini dipengaruhi oleh coverage, trafik yang disalurkan dan utilisasi jaringan.

Semakin besar wilayah layanan operator maka semakin tinggi investasi per menit panggilan. Biaya ini akan lebih tinggi lagi apabila operator menggelar jaringan ke perdesaan.

Tarik menarik
Lantas kenapa perhitungan biaya interkoneksi selalu alot dan membuat operator terbelah dalam dua kubu yakni meminta penurunan progresif atau gradual. (Baca juga: Operator terbelah)

Pasalnya, biaya interkoneksi salah satu komponen dalam perhitungan tarif pungut (retail) ke pelanggan. Formula tarif retail terdiri dari biaya interkoneksi, service activation fee, dan margin.

Saat ini tarif retail panggilan off-net (lintas operator) bervariasi berkisar Rp 1500-an permenit dan biaya interkoneksi yang dibayarkan operator asal kepada operator tujuan sebesar Rp 250 per menit, sehingga keuntungan yang diperoleh minimal Rp 1000 setelah dikurangi biaya jaringan operator asal yang melakukan panggilan.

Tentunya hasil perhitungan tarif interkoneksi yang dilakukan Pemerintah berbeda-beda  merupakan suatu hal yang wajar, karena akan sesuai dengan biaya penyelenggaran masing-masing operator akibat adanya perbedaan cakupan wilayah layanan operator dan utilisasi masing-masing operator.

Namun, bagi penganut paham penurunan biaya interkoneksi harus progresif alias diatas 20%, sebaiknya diterapkan tarif asimetris dimana memandang sama semua upaya pembangunan jaringan operator. (Baca juga: Biaya interkoneksi jangan kebablasan)

Paham ini ditolak bagi penganut paham gradual karena memandang sebenarnya semua operator memulai start yang sama di Indonesia, tetapi dalam sebaran jaringan tetap saja tak merata. Bagi pendukung paham ini yang berlaku idealnya tarif asimetris bukan regulasi asimetris.

Lantas bagaimana dampaknya ke pelanggan? Sejak 2008 dimana Indonesia mengalami penurunan biaya interkoneksi paling besar yakni sekitar 20%- 40%, tarif retail memang terpangkas hingga 70% dari 15 sen dollar AS menjadi 2 sen dollar AS. Saat itu nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berkisar Rp 11 ribu - Rp 12 ribu.

Dampak dari beleid 2008 terjadi tsunami tarif di semua layanan operator dan perang tarif lumayan sengit. Belajar dari itu, sejak 2008, regulator tak berani melakukan penurunan biaya interkoneksi secara dobel digit.

Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati menurunkan biaya interkoneksi karena dalam jangka panjang bisa menurunkan kemampuan re-investasi dari operator.

Bahkan, pelanggan bisa dirugikan karena biaya panggilan sesama operator bisa tak lagi semurah biasanya. Jika melihat kondisi sebaran jaringan operator seluler dimana hanya ada satu pemain yang menembus hingga semua tingkat kecamatan, tentunya yang rugi adalah masyarakat di rural area nantinya karena biaya berkomunikasi menjadi mahal.

Memang susah merawat biaya interkoneksi yang ideal bagi pasar Indonesia.

@IndoTelko