Startup dan Strategi Bisnis

Infografis oleh Eastpring Investment

Lembaga sekuritas Jefferies dalam kajian terbarunya menyajikan data yang lumayan menarik tentang potensi ekonomi digital di Indonesia.

Dari sisi penterasi internet diperkirakan dalam empat hingga lima tahun mendatang ada 150 juta pengguna internet di Indonesia. Saat ini dengan populasi 260 juta jiwa alias nomor 4 di dunia, Indonesia memiliki tingkat penetrasi internet 34% atau sekitar 90 juta dari 250 juta pengguna internet di Asia Tenggara. (Baca juga: Ekonomi Digital)

Dalam kajian tersebut terlihat Indonesia dan Singapura bersaing keras di ekonomi digital. Saat ini Singapura adalah jawaranya di Asia Tenggara untuk urusan ekonomi digital. Setidaknya jika melihat dari sisi nilai investasi di sector eCommerce dalam periode 2010-2016 dimana di Singapura ada uang mengalir sebesar US$ 3,3 miliar, sementara ke Indonesia hanya US$ 894 miliar.

Singapura menjadi pusat ekonomi digital karena dari sisi GDP lumayan kuat yakni di kisaran US$56 ribu, memiliki konektifitas internet yang mumpuni, dan infrastruktur broadband yang kuat. Sementara Indonesia baru dalam tahap membangun kesadaran adanya potensi yang besar menjadi energi bagi ekonomi digital di Asia memanfaatkan keunggulan dari sisi populasi, kreatifitas, dan inovasi.

Hal itu terlihat dari bermunculannya perusahaan rintisan (startup) lokal dalam beberapa tahun belakangan yang menawarkan solusi Teknologi Informasi (TI) sebagai disrupsi di industri untuk meningkatkan produktivitas. (Baca juga: Unicorn di Indonesia)

Mengutip Disertasi Muhammad Awaluddin "Kinerja Bisnis yang Berkelanjutan melalui Pengembangan Strategi Bersaing dan Reputasi Perusahaan Berbasis Penciptaan Nilai dan Kekuatan Persaingan Industri (Suatu Model Keberlanjutan Digital pada Industri Kreatif Digital di Indonesia)", banyak startup yang bermunculan terlalu fokus kepada penciptaan nilai dan penggunaan teknologi sehingga melupakan strategi bersaing. (Baca juga: Digital Activation)

Alhasil, startup yang ada lebih banyak fokus kepada meningkatkan valuasi perusahaannya dengan melupakan sustainability dari bisnis. Cara singkat yang dipilih biasanya melakukan subsidi tarif atau insentif bagi pengguna agar beralih dari layanan tradisional ke besutan startup. Dalam mengeksekusi strategi ini para startup terlihat terlalu mengandalkan dana investor untuk membesarkan bisnisnya sehingga melupakan tahapan-tahapan tumbuhnya sebuah perusahaan.

Memang, banyak yang beralasan game plan dari startup adalah mengejar pangsa pasar, melantai ke bursa saham, mencari capital gain, dan mengincar pertumbuhan tinggi. Tetapi sebagai sebuah entitas tak ada salahnya memiliki  bisnis model yang terukur dan konsep pasar yang kuat untuk strategi bersaing berkelanjutan.

Soalnya, dalam ilmu manajemen dikenal istilah ada saatnya bubble (gelembung) economy to burst atau gelembung menjadi pecah. Kala itu terjadi, sebuah entitas bisa mengalami titik infleksi dimana investor yang tadinya berdatangan berbalik arah meninggalkan.

Di bisnis digital, pada era menurunnya pertumbuhan biasanya Investor akan menyesuaikan pemodalan dengan memilih model pembiayaan Uni-Croach ketimbang Unicorn. Jika di model investasi Unicorn yang dikejar pangsa pasar dan pertumbuhan semata tanpa mempedulikan uang yang dikucurkan, sebaliknya terjadi di Uni-Croach. Singkatnya, easy money tak ada lagi bagi startup.

Bagi startup yang memiliki Digital Sustainability Model tentu bisa mengantisipasi semua keadaan terburuk dan keluar menjadi pemenang nantinya.

 @IndoTelko