Babak Baru Bagi Ridesharing di Indonesia

Ilustrasi (dok)

Pemerintah melalui Kementrian Perhubungan (Kemenhub) akhirnya mengeluarkan aturan untuk tata kelola layanan transportasi berbasis aplikasi (Ridesharing).

Beleid tersebut dituangkan secara resmi dalam Peraturan Menteri (Permen) Perhubungan No 32 tahun 2016 tentang Penyelenggaraaan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek seperti taksi, angkutan sewa, carter, pariwisata dan lainnya.

Keluarnya aturan ini diharapkan ada kejelasan bagi pemain ridesharing dan tak lagi bermain di area abu-abu yang berujung kecemburuan sosial dari pesaingnya dalam hal ini pemilik layanan transportasi konvensional.

Di aturan tersebut ada beberapa hal yang menarik untuk diangkat yakni perihal pemilik layanan taksi online wajib mendaftarkan diri dan nama dalam STNK harus berbadan hukum atau sesuai UU no 22 tahun 2009, pasal 139 ayat 4.

Penyediaan aplikasi bisa dilakukan sendiri atau bekerja sama dengan perusahaan aplikasi yang sudah berbadan hukum Indonesia. Sistem pembayaran angkutan tersebut juga boleh  sekaligus dalam aplikasi, asalkan tetap mengikuti ketentuan di bidang informasi dan transaksi elektronik.

Bila perusahaan angkutan umum, seperti taksi bekerja sama dengan perusahaan aplikasi, maka perusahaan aplikasi tidak boleh bertindak sebagai penyelenggara angkutan.

Ini artinya,  perusahaan aplikasi tidak boleh mengatur tarif, merekrut pengemudi, dan menentukan besaran penghasilan pengemudi. (Baca juga: Aturan Ridesharing)

Perusahaan penyedia aplikasi juga diwajibkan memberi akses monitoring pelayanan, data seluruh perusahaan angkutan umum yang bekerja sama, data seluruh kendaraan dan pengemudi, dan alamat kantornya sendiri.

Sedangkan perusahaan aplikasi yang menyediakan jasa angkutan orang menggunakan kendaraan bermotor diwajibkan mengikuti ketentuan pengusahaan angkutan umum yang dimuat dalam Pasal 21, 22, dan 23 Permen No 32 tahun 2016. Ketentuan tersebut antara lain meminta perusahaan aplikasi mendirikan badan hukum Indonesia.

Bentuk badan hukum yang diakui adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, perseroan terbatas atau koperasi. Perusahaan aplikasi juga diminta untuk menyelenggarakan izin angkutan orang tidak dalam trayek.

Syaratnya antara lain mesti memiliki minimal lima kendaraan atas nama perusahaan, lulus uji berkala, memiliki pool dan bengkel, serta pengemudi harus memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).

Aturan tersebut berlaku efektif dalam waktu 6 bulan mendatang. Permen nomor 32 tahun 2016 disahkan pada Maret 2016 lalu, dengan demikian mulai berlaku pada September 2016.

Mengubah
Pemain seperti Grab mengingatkan sebagian isi peraturan tersebut akan meresahkan para pengemudi dan  dapat memengaruhi model bisnis di  ridesharing. Hal yang disorot adalah Pasal 18 ayat 3 huruf c yang menyebutkan bahwa armada angkutan online harus memiliki surat tanda nomor kendaraan (STNK) atas nama perusahaan.

Realitanya, rata-rata transportasi online, seperti Grab dan Uber, memakai kendaraan milik pribadi. Kendaraan tersebut didaftarkan dalam sebuah koperasi yang merupakan badan usaha Indonesia. (Baca juga: Dukungan regulasi Ridesharing)

Beban pemain ridesharing dipastikan akan makin berat nantinya, kala Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengeluarkan Permen Over The Top (OTT). Dalam Permen itu  akan diatur juga masalah Privasi Digital dan lainnya yang membuat ada beban tambahan bagi pemain ridesharing.

Setelah setumpuk aturan dikeluarkan, akankah bisnis ridesharing terus bersinar? Satu hal yang pasti, nilai kompetitif di sisi harga akan hilang karena Pemerintah Daerah berencana menerapkan tarif batas atas dan bawah.

Alhasil, hanya pemain yang memiliki konsistensi dalam layanan serta dukungan sumber dana yang kuat akan mampu bertahan nantinya. Atau, nantinya akan muncul model ridesharing jenis baru memanfaatkan celah regulasi sesuai dengan khittah teknologi, yakni merusak tatanan nan mapan.

@IndoTelko