Belajar dari Akuisisi Lazada oleh Alibaba

Ilustrasi (dok)

Alibaba melakukan aksi korporasi yang mengejutkan dunia eCommerce global.

Pemain asal Tiongkok ini mengakuisisi Lazada dengan nilai US$ 1 miliar. Lazada adalah salah satu pemain eCommerce di Asia Tenggara dengan beroperasi di Singapura, Malaysia, Vietnam, Indonesia, dan Thailand. Dalam kalkulasi valuasi Lazada mencapai US$1,5 miliar pada 2015. (Baca juga: Alibaba akuisisi Lazada)

Aksi  korporasi ini yang terbesar dilakukan Alibaba di luar Tiongkok. Pada tahun lalu, perusahaan yang didirikan oleh Jack Ma ini mengakuisisi layanan video asal Cina, Youku Tudou Inc., senilai US$ 5 miliar.

Lazada banyak diibaratkan seperti Amazon atau Alibaba-nya Asia Tenggara. Tahun lalu, Lazada membukukan pendapatan sebesar US$ 191 juta dalam kurun waktu sembilan bulan. Di sisi lainnya, biaya operasional Lazada untuk mendapatkan pelanggan, insentif yang harus dibayarkan pada pihak ketiga dan biaya pemasaran umum untuk produknya mencapai US$ 233 juta dolar.

Artinya, dipastikan Lazada dalam posisi merugi walau kinerja operasional lumayan kinclong. Sebuah hal yang lumrah bagi pemain eCommerce karena game plan memang bukan di bottom line.

Bisa dikatakan ini adalah upaya kedua dari salah satu pemegang saham Lazada, Rocket Internet, mencarikan dana segar bagi eCommerce tersebut. Sebelumnya, Rocket Internet sempat menggandeng Kinnevik, perusahaan asal Swedia untuk berinvestasi pada Lazada, guna membantu keuangan eCommerce itu.

Ternyata, malaikat penolong bagi Lazada sekarang adalah Alibaba. Alhasil, Lazada akan menerbitkan saham baru senilai US$ 500 juta untuk mengakomodasi aksi korporasi dari Alibaba. Rocket Internet akan menjual 9,1% di Lazada senilai US$ 137 juta secara tunai, tapi tetap menggenggam 8,8% kepemilikan. Tesco menjual 8,6% sahamnya di Lazada pada Alibaba senilai US$ 129 juta, sehingga kepemilikanya tinggal 8,3%. Selain itu, Rocket and Investment AB Kinnevik juga akan menjual sahamnya.

Pelajaran
Apakah pelajaran yang bisa diambil dari aksi korporasi Alibaba ini? Pertama, bisnis eCommerce memang butuh dana besar. Perang diskon, subsidi harga barang, pemasaran membuat kebutuhan dana membengkak. Belum lagi isu membangun logistik serta backbone lainnya di negara berkembang. Alhasil, aksi merger dan akuisisi menjadi lumrah dilakukan.

Kedua, posisi Indonesia sebagai daya tarik dari eCommerce Asia setelah Tiongkok dan Jepang. Bicara Asia Tenggara, tentu tak bisa dilepaskan dari Indonesia. Tahun 2016 diprediksi nilai transaksi eCommerce di negeri ini sebesarUS$ 4,89 miliar naik ketimbang 2015 sebesar US$ 3,56 miliar. Lazada pun di Indonesia lumayan kinclong dimana hingga akhir 2014, Lazada memiliki 2.000 penjual dan didukung lebih dari 1.500 karyawan. Platform marketplace di Indonesia berkontribusi sekitar 75% dari keseluruhan penjualan di Lazada.

Alibaba sepertinya tak mau ketinggalan dari pesaingnya, JD.com yang lebih dulu masuk ke Indonesia akhir tahun lalu.     

JD.com  merupakan salah satu pemain eCommerce  terbesar di Tiongkok berdasarkan volume transaksi. Perusahaan ini didirikan oleh Richard Liu pada bulan Juli 1998 dan merambah ke platform B2C online di Januari 2004.  

Menurut laporan perusahaan di kuartal ketiga 2015, JD.com  berhasil membukukan sekitar 862.5 juta transaksi, memiliki 196 gudang di 46 kota, 4.760 pusat pengiriman dan pengambilan barang (pickup station) di seluruh distrik di Cina, dan memiliki 131,9 juta pelanggan aktif.

Data iResearch menunjukkan JD.com merupakan perusahaan online direct sales terbesar di Tiongkok pada kuartal terakhir 2014. Pangsa pasar JD.com diketahui telah mencapai 49%. Sedangkan untuk layanan Marketplace, JD.com memiliki pangsa pasar 18,6%.

Nikkei Asia memprediksi bahwa JD.com tumbuh lebih cepat ketimbang pesaingnya, Alibaba. Pada 2015, total nilai barang dan layanan yang dijual di e-retailer JD.com naik sampai 78%  dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhannya lebih dari dua kali lipat dibandingkan bisnis B2C Alibaba yang hanya 30%.

Dalam urusan skala bisnis, JD.com memang masih lebih kecil dibandingkan pesaing. Total Gross Merchandising Value (GMV) Alibaba mencapai US$460 miliar sedangkan JD.com baru mencapai US$71 miliar. Namun begitu nilai perusahaan JD.com telah mencapai US$40 miliar di Nasdaq saat ini.

Melihat dinamika yang cepat, rasanya pemerintah harus mulai berfikir ulang tentang pasar eCommerce Indonesia.(Baca juga: Pemerintah dan eCommerce)

Tak dipungkiri, kita butuh dana asing, tetapi menjadi hak dan tanggung jawab pemerintah membuat investasi asing yang masuk tak membuat pemain lokal atau tenaga lokal sebagai tamu di rumah sendiri.

Sudah saatnya dipikirkan adanya aturan merger dan akuisisi, pembatasan kepemilikan asing di eCommerce, serta perlindungan bagi pemain lokal dan pelannggan yang lebih kongkrit.

Jika tidak, kita akan menjadi penonton dari raksasa-raksasa asing mengeruk pasar lokal di masa mendatang.

@IndoTelko