Aplikasi Transportasi Online Belum Diblokir, Kantor Kemenkominfo Disegel

Ilustrasi (dok)

JAKARTA (IndoTelko) – Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) menunjukkan keseriusannya meminta Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk menutup aplikasi transportasi online milik Uber dan Grab.

Dalam pantauan IndoTelko, Selasa (22/3), secara simbolik massa melakukan aksi segel di kantor Kemenkominfo kala demonstrasi dilakukan sebagai bentuk meminta ketegasan dari regulator Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) itu.

“Kami menuntut kesetaraan. Blokir secepatnya aplikasi Uber dan grab,” teriak massa yang mencapai ribuan itu.

Juru Bicara Kemenkominfo Ismail Cawidu mengakui tengah menerima sejumlah perwakilan dari pengunjuk rasa. “Ada 20 perwakilan akan diterima. Kita tunggu pak Menkominfo,” katanya melalui pesan singkat, Selasa (22/3).

Sebelumnya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menetapkan sejumlah syarat untuk transportasi berbasis aplikasi dapat beroperasi di Indonesia.

Kemenhub memberikan dua opsi  yaitu apakah pengusaha itu ingin menjadi penyedia aplikasi saja, atau ingin menjadi penyedia jasa angkutan umum.

Plt Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Sugihardjo mengatakan, jika perusahaan Grab maupun Uber ingin menjadi pengusaha angkutan umum, harus segera mengajukan izin operasi sebagaimana angkutan umum selayaknya.

"Kalau ingin jadi pengusaha angkutan, ya harus mereka sendiri, baik Grab Car atau Uber yang mengurus izin sebagai operator angkutan," kata Sugihardjo.

Dikatakannya, jika ingin mendapatkan izin operator angkutan, ada dua jenis pilihan, yang semuanya diatur oleh pemerintah melalui Kemenhub. Opsi layanan tersebut antara lain, taksi dan non taksi.

"Kalau kategorinya taksi itu kan harus dengan argometer, tarifnya juga ditetapkan oleh pemerintah daerah. Nah, kalau non taksi itu yang mereka sasar adalah rental. Itu juga ada aturan-aturan mengenai aturan rentalnya yang pasti semua kendaraannya itu harus di KIR (Kelayakan kendaraan), harus diasuransikan," katanya.

Ditambahkannya, jika sudah masuk kategori angkutan umum, pengemudinya pun harus memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) umum. Hal ini, kata dia, sudah sesuai dengan UU yang berlaku.

"Kalau mereka memilih tetap menjadi provider aplikasi, ya enggak papa juga, tetapi dia harus bekerja sama dengan yang punya izin resmi gitu loh. Jadi, seperti Grab Taksi itu sebenarnya sudah bener tuh. Grab bekerja sama dengan operator-operator taksi yang sudah punya sistem," katanya.

Bijak
Sementara Ketua Komisi DPR Mahfudz Siddiq meminta masyarakat menyikapi keberadaan transportasi berbasis aplikasi dengan bijak.

"Masyarakat luas terutama di perkotaan juga harus bijak sikapi ini. Kemudahan akses transportasi melalui online juga tidak boleh mengalahkan kepentingan nasional yang lebih luas," kata Mahfudz.

Menurutnya, Uber dan Grabcar berbeda dengan perusahaan ojek berbasis aplikasi, seperti Go-Jek dan GrabBike.

Dalam kasus ojek online, tidak terlalu masalah karena moda transportasi ojek dinilai tidak resmi dan belum ada regulasinya. Hanya saja, diperlukan regulasi teknis yang baru untuk menjamin keamanan dan standar layanan.

Sementara  Uber dan GrabCar berkaitan langsung dengan moda transportasi yang sudah ada secara resmi sehingga  keberadaan mereka bisa mengganggu taksi konvensional yang selama ini membayar pajak dan mengurus perizinan.

Diharapkannya,  pemerintah segera melakukan langkah cermat dan tepat dalam menyikapi perkembangan model bisnis transportasi baru ini

“Harus ada kesepakatan lintas kementerian dan masukan banyak pihak, terutama jika model bisnis baru tersebut berimpitan dengan model bisnis yang sudah ada dan terikat dengan peraturan perundang-undangan,” katanya.

Sekjen Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Ipung Purnomo mengungkapkan, transportasi berbasis aplikasi (ridesharing) sudah merusak tatanan pasar di bisnis angkutan umum. “Harus ada solusi yang menyenangkan semua pihak. Kalau tidak konflik terus,” tutupnya.(id)