Draf Kemenperin Soal TKDN Menyimpang

Ketua Umum AIPTI, Ali Soebroto (foto : setia)

JAKARTA (IndoTelko) – Dianggap mulai menyimpang dan melenceng dari rencana awal, Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia (AIPTI) menuntut pemerintah tidak mengubah draf peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 82 dan 38. 

Perubahan yang dilakukan terhadap peraturan Kemenperin tersebut bisa merusak industri perangkat telekomunikasi yang ada saat ini.  Hal ini dikatakan Ketua Umum AIPTI, Ali Soebroto kepada IndoTelko dalam Press Conference “Perkembangan Industri Manufaktur Ponsel Indonesia” hari ini (29/02) di Bidakara Jakarta.

Menurut Ali, Kementerian Perindustrian akan mengatur ulang penghitungan porsi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk smartphone 4G LTE. 

Dijelaskannya, ada lima skema komposisi TKDN smartphone 4G LTE.  Pertama berupa 100 persen TKDN perangkat keras (hardware) dan nol persen perangkat lunak (software). Kedua, 75 persen hardware dan 25 persen software. Ketiga, 50 persen hardware dan 50 persen software. Keempat, 25 persen hardware dan 75 persen software. Terakhir adalah nol persen hardware dan 100 persen software.

Ali menganggap, adanya lima skema tersebut justru cenderung memberikan kelonggaran bagi vendor untuk mengimpor ponsel dalam bentuk barang jadi. Artinya, ponsel 4G bisa masuk pasar Indonesia dengan memenuhi TKDN hanya melalui software aplikasi saja tanpa membutuhkan industri manufakturnya.

"Draf kebijakan ini melenceng jauh dari tujuan mulia kesepakatan para menteri terdahulu di Kominfo, Perindustrian dan Perdagangan, yang menginginkan industri ponsel berdiri di Indonesia dan Indonesia menjadi pemain industri ponsel dunia," katanya.  “Peraturan itu harus dijalankan secara konsisten,” tegasnya.

Menurutnya, pasar Indonesia harus bebas dari black market dimana peran Direktorat Jendral Bea & Cukai dan Direktorat Jendral Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan harus dioptimalkan dan AIPTI siap bekerja sama.

Pabrik Sudah Berdiri

Demi mematuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah menyangkut TKDN, para anggota AIPTI sudah berinvestasi dengan nilai yang tidak sedikit untuk membangun pabrik.  Meskipun menurut Ali, pada awalnya regulasi tersebut dirasa berat dan membebani.

Ali mengatakan jika diberlakukan skema hardware nol persen dan software 100 persen, pabrik yang mereka dirikan dirasa sia-sia.  Artinya ponsel bisa diimpor dalam bentuk barang jadi.  Kemudian satu aplikasi dimasukkan ke dalam ponsel tersebut, maka sudah dianggap memenuhi ketentuan TKDN.  “Tidak mesti produksi ponsel di Tanah Air,” jelas Ali. 

Karenanya AIPTI berharap kebijakan yang mewajibkan vendor untuk membuat pabrik atau bekerja sama dengan manufaktur ponsel di Indonesia tetap dan tidak berubah.  "Bagi kami definisi TKDN hanya terdiri dari unsur manufaktur 80 persen dan pengembangan 20 persen,” katanya. (sg)